Diberdayakan oleh Blogger.
Postingan Populer
-
Simposium Nasional Akuntansi 15 dilaksanakan di Banjarmasin Tahun 2012. untuk mendownload Jurnal SNA 15 silahkan klic Link dibawah ini : ...
-
Simposium Nasional Akuntansi 13 dilaksanakan di Purwokerto Tahun 2010. untuk mendownload Jurnal SNA 13 untuk masing-masing bidang silahkan k...
-
Simposium Nasional Akuntansi 14 dilaksanakan di Aceh Tahun 2011. untuk mendownload Jurnal SNA 14 silahkan klic Link dibawah ini : ...
-
Simposium Nasional Akuntansi 16 dilaksanakan di Manado 25-28 September 2013. untuk mendownload Jurnal SNA 16 silahkan klic Link dibawah in...
-
Simposium Nasional Akuntansi 11 dilaksanakan di Pontianak tahun 2008. untuk mendownload Jurnal SNA 11 silahkan klic tautan dibawah ini : ...
Sabtu, 19 Mei 2012
Ilmu Pengetahuan Tanpa Agama Buta
Agama Tanpa Ilmu Pengetahuan Pincang
Pendahuluan
Ilmu
Pengetahuan dan Agama prinsipnya adalah sama-sama konsep Realitas, yang berbeda adalah Ilmu
Pengetahuan mengklaim sebagai pemilik kutup fakta-fakta atau lebih dikenal dengan konsep modernitas
sebagaimana yang dipelopori oleh Auguste Comte, Sigmund Freud, Karl
Marx, dan Bertrand Russell, sedangkan
Agama mengklaim sebagai pemiliki kutup spiritual atau konsep alam semesta. Perbedaan
klaim inilah yang akhirnya
memunculkan sikap perang antara orientasi ilmu pengetahuan dan Agama. Ilmu
menyangkal validitas untuk agama
dan Agama menyangkal validitas untuk ilmu pengetahuan. Namun, pada umumnya, agama klasik tidak
pernah menyangkal ilmu, hal ini karena (a). Ilmu pengetahuan bukanlah ancaman
(hanya dengan modernitas ilmu tidak cukup kuat untuk membunuh Tuhan), dan (b).
Karena ilmu pengetahuan selalu dianggap sebagai salah satu dari beberapa
perilaku mode jasmani dan mode rohani. Pada saat yang sama, perlu dicatat bahwa
ilmu-ilmu kuno yang disampaikan oleh Newton, Galileo dan Kepler cenderung membuat ilmu itu
sendiri menjadi agama baru yaitu agama positivisme (seperti apa yang diusulkan
oleh Auguste Comte).
Hal ini sejalan dengan pokok
pikiran para tokoh modernisme yang menegaskan bahwa pengetahuan tidak
berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa,
tetapi dari diri manusia sendiri. Ada 7 aliran yang meramaikan kancah modernism yaitu aliran idealism, materialisme, dualisme, empirisme, fenomenalisme dan intusionalisme, namun tentang aspek mana yang berperan ada tiga arus utama yang dominan mewarnai filsafat
modern yakni pertama aliran
rasionalisme yang beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio (akal) : kebenaran pasti berasal dari rasio (akal), kedua aliran empirisme, sebaliknya, yang meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik
yang batin, maupun yang inderawi dan yang ketiga
adalah aliran kritisme yang memadukan kedua pendapat tersebut.
Disisi lain para penganut
epistemologis pluralisme tradisional seperti mistikus Kristen St. Bonaventure
dan Hugh St Victor menyatakan bahwa setiap manusia memiliki mata hati, mata pikiran
dan mata kontemplasi. Masing-masing memiliki dimensi dan objek yang
berbeda-beda (misalnya : kasar, halus dan sebab-akibat), dan masing-masing
memiliki keyakinan yang berbeda tentang realitas alam. Inilah yang selanjutnya
memberi kita keseimbangan pengetahuan empiris (Sains),
pengetahuan rasional (logika dan matematika),
dan pengetahuan spiritual (gnosis).
Pengetahuan
dari Ketiganya (mata hati, mata pikiran dan mata kontemplasi), tentu saja,
hanya versi sederhana dari rantai besar yang universal. Jika kita gambarkan,
rantai besar tersebut memiliki lima tingkat yakni (matter, body, mind, soul,
and spirit), begitu pula dengan manusia, mereka
memiliki lima mata yang telah tersedia yakni (material prehension, bodily
emotion, mental ideas, the soul’s archetypal cognition, and spiritual gnosis).
Demikian juga, jika rantai besar dibagi ke dalam dua belas tingkatan, maka kita
juga akan memiliki dua belas mata, atau dua belas tingkat kesadaran dan
pengetahuan. Sebagaimana di kemukakan oleh filsuf mistik dunia
“Plotinus-arguably” yang membagi rantai besar tersebut kedalam dua belas
tingkatan yakni matter, life, sensation, perception, impulse, images,
concepts, logical faculty, creative reason, world soul, nous, and the One.
Intinya
adalah bahwa, dengan cara apapun kita membagi tingkat besar tersebut kedalam
baik, tiga tingkat, lima tingkat, dua belas tingkat atau lebih, laki-laki dan
perempuan telah tersedia untuk mereka setidaknya tiga mata dasar untuk
mengetahui: mata hati (Empirisme), mata pikiran (rasionalisme) dan mata
kontemplasi (mistisisme), yang masing-masing penting dan cukup berlaku ketika
berhadapan dengan tingkatnya sendiri, tetapi akan berbeda ketika melihat domain
yang lainnya. Ini adalah jantung pluralisme epistemologis, dan sejauh
memandang, itu memang cukup berlaku.
Sekarang, jika keberadaan tiga mata
tersebut digunakan untuk melihat fakta modernitas, maka hubungan ilmu
pengetahuan dan agama akan tidak ada masalah sama sekali. Hal ini karena, Sains
empiris akan mampu menyerap fakta-fakta yang disampaikan oleh mata hati, roh (atau mata kontemplasi) dan agama akan mampu
menyerap fakta-fakta disampaikan oleh mata pikiran.
Akan tetapi bagi arus utama modernitas akan tetap pada keyakinanya yakni tidak
mengakui realitas mata hati,roh. Arus utama
Modernitas mengakui hanya pada mata pikiran bukan pada mata hati, atau kontemplasi, dominasi pandangan inilah dalam dunia
modern dikenal dengan materialisme ilmiah, sehingga tidak mempertimbangkan
sains ilmu holistic dari teori sistem atau subatomic physics dari peristiwa
fisika kuantum, pokoknya bahwa ilmu pengetahuan adalah mata pikiran terkait
dengan bukti-bukti yang ditawarkan oleh indra empiris. Dalam kasus ini tidak
ada mata kontemplasi atau mata hati diperlukan atau
bahkan diperbolehkan.
Kesulitan sesungguhnya, kemudian, adalah
bagaimana bisa menghadirkan atau mengitegrasikan empirisme, rasionalisme, dan
mistisisme secara bersama-sama dalam satu
pandangan. Untuk
menjawab hal itu, sebenarnya merupakan bagian yang mudah. Bahkan semua orang
percaya, bahwa ketiganya dapat dihadirkan secara bersama. Bagian yang sulit
adalah modernitas yang tidak menerima keberadaan (transmental, transrational,
transpersonal, dan mode kontemplatif),
dan yang merasa tidak perlu ada integrasi apapun. Untuk apa mencoba
mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan Santa Claus?. Inilah yang sampai saat ini menjadi keyakinan para tokoh aliran idealism,
materialisme, dualisme, empirisme, fenomenalisme dan intusionalisme dalam memaknai ilmu pengetahuan dan
agama.
Aliran Rasionalisme
Rasionalisme merupakan faham
atau aliran atau ajaran yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal.Selain
itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki. Zaman
Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke
XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan
yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata,
penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu
pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu
alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang
terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang
hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII
dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap
dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal
Fisika Inggeris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian
kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua
gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa
Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi
dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang
makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu
berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang
menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena
kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
Aliran
rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku
Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu
sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan
segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian
kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan
bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi
dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak
dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi
kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan sesuatu, aku
menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain kata kesangsian itu
langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku
berpikir (= menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat
disangkal lagi. — Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti
itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”, “clara et
distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus
diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan
kebenaran.
Descartes
menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir,
yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan (res extensa,
“extention”) atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya
sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu). Pikiran
sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi
menjadi bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil tempat
dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari
Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga.
Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas
pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang
hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang,
dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat,
bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena
dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah
komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan). Descartes adalah pelopor kaum rasionalis,
yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
Tokoh-tokohnya
1.
Rene Descartes (1596 -1650)
2.
Nicholas Malerbranche (1638
-1775)
3.
B. De Spinoza (1632 -1677 M)
4.
G.W.Leibniz (1946-1716)
5.
Christian Wolff (1679 -1754)
6.
Blaise Pascal (1623 -1662 M)
Aliran Empirisme
Aliran
empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang
bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang
menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan
bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Dua
hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima
substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang
selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil
penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti
itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman
itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut
kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas,
diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan
bukan yang lainnya? Bagi Hume, “aku” tidak lain hanyalah “a bundle or
collection of perceptions (= kesadaran tertentu)”. kausalitas. Jika gejala tertentu
diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas,
kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberi
kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan
sebab-akibat. Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita
saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari “probable” (berpeluang). Maka
Hume menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak
melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita. Hukum
alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang “hukum alam” atau
“sebab-akibat”, sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang
merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan
kita saja. Hume merupakan pelopor
para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal
dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang
bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
Empirisme berasal dari kata
Yunani yaitu "empiris" yang berarti pengalaman inderawi. Oleh karena
itu empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber
utama pengenalanan dan yang dimaksudkan dengannya adalah baik pengalaman
lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut
pribadi manusia. Pada dasarnya Empirisme sangat bertentangan dengan
Rasionalisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari
ratio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang
kabur. sebaliknya Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari
pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas
dan sempurna.
Seorang yang beraliran
Empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan didapat melalui penampungan
yang secara pasif
menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan
betapapun rumitnya dapat dilacak kembali dan apa yang tidak dapat bukanlah ilmu
pengetahuan. Empirisme radikal berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat
dilacak sampai kepada pengalaman inderawi dan apa yang tidak dapat dilacak
bukan pengetahuan. Lebih lanjut penganut Empirisme mengatakan bahwa pengalaman
tidak lain akibat suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, kemudian di
dalam otak dipahami dan akibat dari
rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah
merangsang alat-alat inderawi tersebut. Empirisme
memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan, malah barangkali merupakan
satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan menurut penganut Empirisme.
Pengalaman inderawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.
Tokoh-tokohnya.
1.
Francis Bacon (1210 -1292)
2.
Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
3.
John Locke ( 1632 -1704)
4.
George Berkeley ( 1665 -1753)
5.
David Hume ( 1711 -1776)
6.
Roger Bacon ( 1214 -1294)
Aliran Kritisme
Aliran
kritismen muncul untuk
mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu yakni rasionalisme dan Empirisme. Sebagai pelopor aliran kritisme Imanuel
Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang
bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar
separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia
berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang
menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada
kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang
dunia.
Kant
setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia
“itu sendiri” (“das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak
“bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur
yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang
pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita
ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu
adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan.
Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses
yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terbantahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik
atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar
bagi aneka aliran filsafat masa kini.
Aliran Idealisme
Idealisme merupakan suatu ajaran/faham
atau aliran yang menganggap bahwa realitas ini terdiri atas roh-roh (sukma)
atau jiwa. ide-ide dan pikiran atau yang sejenis dengan itu. Dalam perkembangannya aliran ini merupakan aliran
yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran manusia. Mula-mula dalam
filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. yang
menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan
sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan
saja dari alam idea itu. Aristoteles memberikan sifat kerohanian
dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie)
yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu.
Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham idealisme hilang
sarna sekali. Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang
disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini. Pada jaman Aufklarung ulama-ulama filsafat yang mengakui aliran
serba dua seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat
kerohanian dan kebendaan maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih
penting daripada kebendaan. Selain
itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut Idealisme
yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil
filsafat yang mendalam. Puncak jaman Idealiasme pada masa abad ke-18 dan 19
ketika periode Idealisme. Jerman sedang besar sekali pengaruhnya di Eropa.
Tokoh-tokohnya.
1.
Plato (477 -347 Sb.M)
2.
B. Spinoza (1632
-1677)
3.
Liebniz (1685 -1753)
4.
Berkeley (1685 -1753)
5.
Immanuel Kant (1724
-1881)
6.
J. Fichte (1762
-1814)
7.
F. Schelling (1755
-1854)
8.
G. Hegel (1770 -1831)
Aliran Materialisme
Materialisme merupakan faham
atau aliran yang menganggap bahwa dunia ini tidak ada selain materi atau nature
(alam) dan dunia fisik adalah satu. Dalam perkembangannya sekitar abad pertama masehi
faham Materialisme tidak mendapat tanggapan yang serius, bahkan pada abad
pertengahan, orang menganggap asing terhadap faham Materialisme ini. Baru pada
jaman Aufklarung (pencerahan), Materialisme mendapat tanggapan dan penganut
yang penting di Eropa Barat. Pada
abad ke-19 pertengahan, aliran Materialisme tumbuh subur di Barat. Faktir yang
menyebabkannya adalah bahwa orang merasa dengan faham Materialisme mempunyai
harapan-harapan yang besar atas hasil-hasil ilmu pengetahuan alam. Selain itu,
faham Materialisme ini praktis tidak memerlukan dalil- dalil yang muluk-muluk
dan abstrak, juga teorinya jelas berpegang pada kenyataan- kenyataan yang jelas
dan mudah dimengerti.
Kemajuan aliran ini mendapat
tantangan yang keras dan hebat dari kaum agama dimana-mana. Hal ini disebabkan
bahwa faham Materialisme ini pada abad ke-19 tidak mengakui adanya Tuhan
(atheis) yang sudah diyakini mengatur budi masyarakat. Pada masa ini, kritikpun
muncul di kalangan ulama-ulama barat yang menentang Materialisme. Adapun kritik yang dilontarkan adalah sebagai berikut :
- Materialisme menyatakan bahwa alam wujud ini terjadi dengan sendirinya dari khaos (kacau balau). Padahal kata Hegel. kacau balau yang mengatur bukan lagi kacau balau namanya.
- Materialisme menerangkan bahwa segala peristiwa diatur oleh hukum alam. padahal pada hakekatnya hukum alam ini adalah perbuatan rohani juga.
- Materialisme mendasarkan segala kejadian dunia dan kehidupan pada asal benda itu sendiri. padahal dalil itu menunjukkan adanya sumber dari luar alam itu sendiri yaitu Tuhan.
- Materialisme tidak sanggup menerangkan suatu kejadian rohani yang paling mendasar sekalipun.
Tokoh-tokohnya.
1. Anaximenes ( 585 -528)
2. Anaximandros ( 610 -545 SM)
3. Thales ( 625 -545 SM)
4. Demokritos (kl.460 -545 SM)
5. Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
6. Lamettrie (1709 -1715)
7. Feuerbach (1804 -1877)
8. H. Spencer (1820 -1903)
9. Karl Marx (1818 -1883)
Aliran Dualisme
Dualisme merupakan ajaran atau
aliran/faham yang memandang alam ini terdiri atas dua macam hakekat yaitu
hakekat materi dan hakekat rohani. Kedua macam hakekat itu masing-masing bebas
berdiri sendiri, sama azazi dan abadi. Perhubungan antara keduanya itu
menciptakan kehidupan dalam alam Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja
sama kedua hakekat ini adalah terdapat dalam diri manusia.
Tokoh-tokohnya.
1.
Plato (427 -347 Sb.H)
2.
Aristoteles (384 -322 Sb.H)
3.
Descartes (1596 -1650)
4.
Fechner(1802 -1887)
5.
Arnold Gealinex
6.
Leukippos
7.
Anaxagoras
8.
Hc. Daugall
9.
Schopenhauer (1788 -1860)
Aliran Fenomenalisme
Secara harfiah Fenomenalisme
merupakan aliran atau faham
yang menganggap bahwa Fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan
kebenaran. Seorang Fenomenalisme suka melihat gejala. Dia berbeda dengan
seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi,
serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenalisme bergerak di bidang yang
pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang
evidensi yang langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran, "a
way of looking at things".
Gejala adalah aktivitas,
misalnya gejala gedung putih adalah gejala akomodasi, konvergensi, dan fiksasi
dari mata orang yang melihat gedung itu, di tambah aktivitas lain yang perlu
supaya gejala itu muncul. Fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat Brentano
bahwa subjek dan objek menjadi satu secara dialektis. Tidak mungkin ada hal
yang melihat. Inti dari Fenomenalisme adalah tesis dari
"intensionalisme" yaitu hal yang disebut konstitusi.
Menurut Intensionalisme
(Brentano) manusia menampakkan dirinya sebagai hal yang transenden, sintesa
dari objek dan subjek. Manusia sebagai entre au monde (mengada pada alam)
menjadi satu dengan alam itu. Manusia mengkonstitusi alamnya. Untuk melihat
sesuatu hal, saya harus mengkonversikan mata, mengakomodasikan lensa, dan
mengfiksasikan hal yang mau dilihat. Anak yang baru lahir belum bisa melakukan
sesuatu hal, sehingga benda dibawa ke mulutnya.
Tokoh-tokohnya.
1.
Edmund Husserl (1859 -1938)
2.
Max Scheler (1874 -1928)
3.
Hartman (1882 -1950)
4.
Martin Heidegger (1889 -1976)
5.
Maurice Merleau-Ponty (1908
-1961)
6.
Jean Paul Sartre (1905 -1980)
7.
Soren Kierkegaard (1813 -1855)
Aliran Intusionalisme
Intusionalisme merupakan suatu aliran atau
faham yang menganggap bahwa intuisi (naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan
dan kebenaran. Intuisi termasuk salah satu kegiatan berfikir yang tidak
didasarkan pada penalaran. Jadi Intuisi adalah non-analitik dan tidak
didasarkan atau suatu pola berfikir tertentu dan sering bercampur aduk dengan
perasaan.
Tokoh-tokohnya.
1.
Plotinos (205 -270)
2.
Henri Bergson (1859
-1994)
Referensi :
Baker, Anton. 1984.
Metode-metode Filsafat. Jakarta. Ghalia Indonesia.
Beering, RF. 1966. Filsafat
Dewasa ini. Jakarta. Penerbit Balai Pustaka.
Bertens, K 1989.
Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta. Kanisius.
_________, 1998. Ringkasan Sejarah Filsafat,
Kanisius, Yogyakarta
_________, 2005. Panorama filsafat modern,DARAS,
Jakarta
Brian Duignan, 2011 The History Of Philosophy
Modern Philosophy From 1500 Ce To The Present
Budiaman, Arif. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta:Gavindo.
Brower, MAW. 1984. Psikologi
Fenomenologi. Jakarta. Penerbit Gramedia.
____________,1986.
Sejarah Filsafat Modern dan Sejaman. Bandung. Penerbit Alumni.
Hardiman F.Budi, 2004. Filsafat modern, gramedia, Jakarta
Ken Wilber, 1998. The Marriage Of Sence And Soul
Integrating Science And Religion. Random House. New York
Kattsoff, Louis O. 1989.
Pengantar Filsafat. Yogyakarta. Penerbit Bayu Indera.
Poedjiadi, Anna. 1987.
Sejarah dan Filsafat Sains. Bandung. Penerbit Cendrawasih.
Poedjawijatma. 1980.
Pembimbing Ke arab Alam Filsafat. Jakarta. Pembangunan Pranarya, AMW. 1987.
Epistemologi Dasar : Suatu Pengantar. Jakarta. CSIS.
Pradja,
Juhaya S. 1987. Aliran-aliran Filsafat Dari Rasionalisme Hingga Sekularisme.
Bandung. Alva Gracia.
Syadali Ahmad,dkk, 2004. Filsafat Umum, Pustaka setia,
Bandung
Slamet Iman Santoso R.1977.
Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta.
Sinar Hudaya.
Wilbur Applebaum, 2005. The Scientific Revolution
and the Foundations of Modern Science. Greenwood Guides to Historic Events, 1500–1900. Greenwood Press. London