KUMPARTA: Mungkinkah Ilmu Pengetahuan dan Agama dapat Terintegrasi ?
Diberdayakan oleh Blogger.

Postingan Populer

Sabtu, 19 Mei 2012

Ilmu Pengetahuan Tanpa Agama Buta
Agama Tanpa Ilmu Pengetahuan Pincang

Pendahuluan
            Ilmu Pengetahuan dan Agama prinsipnya adalah sama-sama konsep Realitas, yang berbeda adalah Ilmu Pengetahuan mengklaim sebagai pemilik kutup fakta-fakta atau lebih dikenal dengan konsep modernitas sebagaimana yang dipelopori oleh Auguste Comte, Sigmund Freud, Karl Marx, dan Bertrand Russell, sedangkan Agama mengklaim sebagai pemiliki kutup spiritual atau konsep alam semesta. Perbedaan klaim inilah yang akhirnya memunculkan sikap perang antara orientasi ilmu pengetahuan dan Agama. Ilmu menyangkal validitas untuk agama dan Agama menyangkal validitas untuk ilmu pengetahuan. Namun, pada umumnya, agama klasik tidak pernah menyangkal ilmu, hal ini karena (a). Ilmu pengetahuan bukanlah ancaman (hanya dengan modernitas ilmu tidak cukup kuat untuk membunuh Tuhan), dan (b). Karena ilmu pengetahuan selalu dianggap sebagai salah satu dari beberapa perilaku mode jasmani dan mode rohani. Pada saat yang sama, perlu dicatat bahwa ilmu-ilmu kuno yang disampaikan oleh Newton, Galileo dan Kepler cenderung membuat ilmu itu sendiri menjadi agama baru yaitu agama positivisme (seperti apa yang diusulkan oleh Auguste Comte).
      Hal ini sejalan dengan pokok pikiran para tokoh modernisme yang menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri.  Ada 7 aliran yang meramaikan kancah modernism yaitu aliran idealism, materialisme, dualisme, empirisme, fenomenalisme dan intusionalisme, namun tentang aspek mana yang berperan ada tiga arus utama yang dominan mewarnai filsafat modern yakni pertama aliran rasionalisme yang beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio (akal) : kebenaran pasti berasal dari rasio (akal), kedua aliran empirisme, sebaliknya, yang meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi dan yang ketiga adalah aliran kritisme yang memadukan kedua pendapat tersebut.
Disisi lain para penganut epistemologis pluralisme tradisional seperti mistikus Kristen St. Bonaventure dan Hugh St Victor menyatakan bahwa setiap manusia memiliki mata hati, mata pikiran dan mata kontemplasi. Masing-masing memiliki dimensi dan objek yang berbeda-beda (misalnya : kasar, halus dan sebab-akibat), dan masing-masing memiliki keyakinan yang berbeda tentang realitas alam. Inilah yang selanjutnya memberi kita keseimbangan pengetahuan empiris (Sains), pengetahuan rasional (logika dan matematika), dan pengetahuan spiritual (gnosis).
Pengetahuan dari Ketiganya (mata hati, mata pikiran dan mata kontemplasi), tentu saja, hanya versi sederhana dari rantai besar yang universal. Jika kita gambarkan, rantai besar tersebut memiliki lima tingkat yakni (matter, body, mind, soul, and spirit), begitu pula dengan manusia, mereka memiliki lima mata yang telah tersedia yakni (material prehension, bodily emotion, mental ideas, the soul’s archetypal cognition, and spiritual gnosis). Demikian juga, jika rantai besar dibagi ke dalam dua belas tingkatan, maka kita juga akan memiliki dua belas mata, atau dua belas tingkat kesadaran dan pengetahuan. Sebagaimana di kemukakan oleh filsuf mistik dunia “Plotinus-arguably” yang membagi rantai besar tersebut kedalam dua belas tingkatan yakni matter, life, sensation, perception, impulse, images, concepts, logical faculty, creative reason, world soul, nous, and the One.
Intinya adalah bahwa, dengan cara apapun kita membagi tingkat besar tersebut kedalam baik, tiga tingkat, lima tingkat, dua belas tingkat atau lebih, laki-laki dan perempuan telah tersedia untuk mereka setidaknya tiga mata dasar untuk mengetahui: mata hati (Empirisme), mata pikiran (rasionalisme) dan mata kontemplasi (mistisisme), yang masing-masing penting dan cukup berlaku ketika berhadapan dengan tingkatnya sendiri, tetapi akan berbeda ketika melihat domain yang lainnya. Ini adalah jantung pluralisme epistemologis, dan sejauh memandang, itu memang cukup berlaku.
            Sekarang, jika keberadaan tiga mata tersebut digunakan untuk melihat fakta modernitas, maka hubungan ilmu pengetahuan dan agama akan tidak ada masalah sama sekali. Hal ini karena, Sains empiris akan mampu menyerap fakta-fakta yang disampaikan oleh mata hati, roh (atau mata kontemplasi) dan agama akan mampu menyerap fakta-fakta disampaikan oleh mata pikiran. Akan tetapi bagi arus utama modernitas akan tetap pada keyakinanya yakni tidak mengakui realitas mata hati,roh. Arus utama Modernitas mengakui hanya pada mata pikiran bukan pada mata hati, atau kontemplasi, dominasi pandangan inilah dalam dunia modern dikenal dengan materialisme ilmiah, sehingga tidak mempertimbangkan sains ilmu holistic dari teori sistem atau subatomic physics dari peristiwa fisika kuantum, pokoknya bahwa ilmu pengetahuan adalah mata pikiran terkait dengan bukti-bukti yang ditawarkan oleh indra empiris. Dalam kasus ini tidak ada mata kontemplasi atau mata hati diperlukan atau bahkan diperbolehkan.
            Kesulitan sesungguhnya, kemudian, adalah bagaimana bisa menghadirkan atau mengitegrasikan empirisme, rasionalisme, dan mistisisme secara bersama-sama dalam satu pandangan. Untuk menjawab hal itu, sebenarnya merupakan bagian yang mudah. Bahkan semua orang percaya, bahwa ketiganya dapat dihadirkan secara bersama. Bagian yang sulit adalah modernitas yang tidak menerima keberadaan (transmental, transrational, transpersonal, dan mode kontemplatif), dan yang merasa tidak perlu ada integrasi apapun. Untuk apa mencoba mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan Santa Claus?. Inilah yang sampai saat ini menjadi keyakinan para tokoh aliran idealism, materialisme, dualisme, empirisme, fenomenalisme dan intusionalisme dalam memaknai ilmu pengetahuan dan agama.

Aliran Rasionalisme
Rasionalisme merupakan faham atau aliran atau ajaran yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal.Selain itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki. Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggeris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
            Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M).  Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis.  Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
            Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”.  Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”.  Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya.  Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku berpikir (= menyadari) maka aku ada.  Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi.  — Mengapa kebenaran itu pasti?  Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”, “clara et distincta”.  Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar.  Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.
            Descartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan (res extensa, “extention”) atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu).  Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil.  Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga. Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan). Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
Tokoh-tokohnya
1.      Rene Descartes (1596 -1650)
2.      Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
3.      B. De Spinoza (1632 -1677 M)
4.      G.W.Leibniz (1946-1716)
5.      Christian Wolff (1679 -1754)
6.      Blaise Pascal (1623 -1662 M)

Aliran Empirisme
            Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan.  Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
            Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama.  Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, “aku” tidak lain hanyalah “a bundle or collection of perceptions (= kesadaran tertentu)”. kausalitas.  Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman.  Pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat.  Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari “probable” (berpeluang).  Maka Hume menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita.  Hukum alam adalah hukum alam.  Jika kita bicara tentang “hukum alam” atau “sebab-akibat”, sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja. Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera.  Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
Empirisme berasal dari kata Yunani yaitu "empiris" yang berarti pengalaman inderawi. Oleh karena itu empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalanan dan yang dimaksudkan dengannya adalah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia. Pada dasarnya Empirisme sangat bertentangan dengan Rasionalisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari ratio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. sebaliknya Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Seorang yang beraliran Empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan didapat melalui penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan betapapun rumitnya dapat dilacak kembali dan apa yang tidak dapat bukanlah ilmu pengetahuan. Empirisme radikal berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman inderawi dan apa yang tidak dapat dilacak bukan pengetahuan. Lebih lanjut penganut Empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, kemudian di dalam otak dipahami dan akibat dari rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat-alat inderawi tersebut. Empirisme memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan, malah barangkali merupakan satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan menurut penganut Empirisme. Pengalaman inderawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.
Tokoh-tokohnya.
1.      Francis Bacon (1210 -1292)
2.      Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
3.      John Locke ( 1632 -1704)
4.      George Berkeley ( 1665 -1753)
5.      David Hume ( 1711 -1776)
6.      Roger Bacon ( 1214 -1294)

Aliran Kritisme
            Aliran kritismen muncul untuk mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu yakni rasionalisme dan Empirisme. Sebagai pelopor aliran kritisme Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini.  Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh.  Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita.  Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. 
            Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (“das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”.  Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia.  Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita.  Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terbantahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini.
Aliran Idealisme
Idealisme merupakan suatu ajaran/faham atau aliran yang menganggap bahwa realitas ini terdiri atas roh-roh (sukma) atau jiwa. ide-ide dan pikiran atau yang sejenis dengan itu. Dalam perkembangannya aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. yang menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu. Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham idealisme hilang sarna sekali. Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini. Pada jaman Aufklarung ulama-ulama filsafat yang mengakui aliran serba dua seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan kebendaan maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting daripada kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut Idealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam. Puncak jaman Idealiasme pada masa abad ke-18 dan 19 ketika periode Idealisme. Jerman sedang besar sekali pengaruhnya di Eropa.
Tokoh-tokohnya.
1.    Plato (477 -347 Sb.M)
2.    B. Spinoza (1632 -1677)
3.    Liebniz (1685 -1753)
4.    Berkeley (1685 -1753)
5.    Immanuel Kant (1724 -1881)
6.    J. Fichte (1762 -1814)
7.    F. Schelling (1755 -1854)
8.    G. Hegel (1770 -1831)

Aliran Materialisme
Materialisme merupakan faham atau aliran yang menganggap bahwa dunia ini tidak ada selain materi atau nature (alam) dan dunia fisik adalah satu. Dalam perkembangannya sekitar abad pertama masehi faham Materialisme tidak mendapat tanggapan yang serius, bahkan pada abad pertengahan, orang menganggap asing terhadap faham Materialisme ini. Baru pada jaman Aufklarung (pencerahan), Materialisme mendapat tanggapan dan penganut yang penting di Eropa Barat. Pada abad ke-19 pertengahan, aliran Materialisme tumbuh subur di Barat. Faktir yang menyebabkannya adalah bahwa orang merasa dengan faham Materialisme mempunyai harapan-harapan yang besar atas hasil-hasil ilmu pengetahuan alam. Selain itu, faham Materialisme ini praktis tidak memerlukan dalil- dalil yang muluk-muluk dan abstrak, juga teorinya jelas berpegang pada kenyataan- kenyataan yang jelas dan mudah dimengerti.

Kemajuan aliran ini mendapat tantangan yang keras dan hebat dari kaum agama dimana-mana. Hal ini disebabkan bahwa faham Materialisme ini pada abad ke-19 tidak mengakui adanya Tuhan (atheis) yang sudah diyakini mengatur budi masyarakat. Pada masa ini, kritikpun muncul di kalangan ulama-ulama barat yang menentang Materialisme. Adapun kritik yang dilontarkan adalah sebagai berikut :
  • Materialisme menyatakan bahwa alam wujud ini terjadi dengan sendirinya dari khaos (kacau balau). Padahal kata Hegel. kacau balau yang mengatur bukan lagi kacau balau namanya.
  • Materialisme menerangkan bahwa segala peristiwa diatur oleh hukum alam. padahal pada hakekatnya hukum alam ini adalah perbuatan rohani juga.
  • Materialisme mendasarkan segala kejadian dunia dan kehidupan pada asal benda itu sendiri. padahal dalil itu menunjukkan adanya sumber dari luar alam itu sendiri yaitu Tuhan.
  • Materialisme tidak sanggup menerangkan suatu kejadian rohani yang paling mendasar sekalipun.
Tokoh-tokohnya.
1.   Anaximenes ( 585 -528)
2.    Anaximandros ( 610 -545 SM)
3.   Thales ( 625 -545 SM)
4.    Demokritos (kl.460 -545 SM)
5.   Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
6.    Lamettrie (1709 -1715)
7.    Feuerbach (1804 -1877)
8.    H. Spencer (1820 -1903)
9.    Karl Marx (1818 -1883)

Aliran Dualisme
Dualisme merupakan ajaran atau aliran/faham yang memandang alam ini terdiri atas dua macam hakekat yaitu hakekat materi dan hakekat rohani. Kedua macam hakekat itu masing-masing bebas berdiri sendiri, sama azazi dan abadi. Perhubungan antara keduanya itu menciptakan kehidupan dalam alam Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakekat ini adalah terdapat dalam diri manusia.
Tokoh-tokohnya.
1.      Plato (427 -347 Sb.H)
2.      Aristoteles (384 -322 Sb.H)
3.      Descartes (1596 -1650)
4.      Fechner(1802 -1887)
5.      Arnold Gealinex
6.      Leukippos
7.      Anaxagoras
8.      Hc. Daugall
9.      Schopenhauer (1788 -1860)

Aliran Fenomenalisme
Secara harfiah Fenomenalisme merupakan aliran atau faham yang menganggap bahwa Fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang Fenomenalisme suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran, "a way of looking at things".
Gejala adalah aktivitas, misalnya gejala gedung putih adalah gejala akomodasi, konvergensi, dan fiksasi dari mata orang yang melihat gedung itu, di tambah aktivitas lain yang perlu supaya gejala itu muncul. Fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat Brentano bahwa subjek dan objek menjadi satu secara dialektis. Tidak mungkin ada hal yang melihat. Inti dari Fenomenalisme adalah tesis dari "intensionalisme" yaitu hal yang disebut konstitusi.
Menurut Intensionalisme (Brentano) manusia menampakkan dirinya sebagai hal yang transenden, sintesa dari objek dan subjek. Manusia sebagai entre au monde (mengada pada alam) menjadi satu dengan alam itu. Manusia mengkonstitusi alamnya. Untuk melihat sesuatu hal, saya harus mengkonversikan mata, mengakomodasikan lensa, dan mengfiksasikan hal yang mau dilihat. Anak yang baru lahir belum bisa melakukan sesuatu hal, sehingga benda dibawa ke mulutnya.
Tokoh-tokohnya.
1.      Edmund Husserl (1859 -1938)
2.      Max Scheler (1874 -1928)
3.      Hartman (1882 -1950)
4.      Martin Heidegger (1889 -1976)
5.      Maurice Merleau-Ponty (1908 -1961)
6.      Jean Paul Sartre (1905 -1980)
7.      Soren Kierkegaard (1813 -1855)

Aliran Intusionalisme
Intusionalisme merupakan suatu aliran atau faham yang menganggap bahwa intuisi (naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Intuisi termasuk salah satu kegiatan berfikir yang tidak didasarkan pada penalaran. Jadi Intuisi adalah non-analitik dan tidak didasarkan atau suatu pola berfikir tertentu dan sering bercampur aduk dengan perasaan.
Tokoh-tokohnya.
1.    Plotinos (205 -270)
2.    Henri Bergson (1859 -1994)

  
Referensi  :
Baker, Anton. 1984. Metode-metode Filsafat. Jakarta. Ghalia Indonesia.
Beering, RF. 1966. Filsafat Dewasa ini. Jakarta. Penerbit Balai Pustaka.
Bertens, 1989. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta. Kanisius.
_________, 1998. Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta
_________, 2005. Panorama filsafat modern,DARAS, Jakarta
Brian Duignan, 2011 The History Of Philosophy Modern Philosophy From 1500 Ce To The Present
Budiaman, Arif. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta:Gavindo.
Brower, MAW. 1984. Psikologi Fenomenologi. Jakarta. Penerbit Gramedia.
____________,1986. Sejarah Filsafat Modern dan Sejaman. Bandung. Penerbit Alumni.
Hardiman F.Budi, 2004. Filsafat modern, gramedia, Jakarta
Ken Wilber, 1998. The Marriage Of Sence And Soul Integrating Science And Religion. Random House. New York
Kattsoff, Louis O. 1989. Pengantar Filsafat. Yogyakarta. Penerbit Bayu Indera.
Poedjiadi, Anna. 1987. Sejarah dan Filsafat Sains. Bandung. Penerbit Cendrawasih.
Poedjawijatma. 1980. Pembimbing Ke arab Alam Filsafat. Jakarta. Pembangunan Pranarya, AMW. 1987. Epistemologi Dasar : Suatu Pengantar. Jakarta. CSIS.
Pradja, Juhaya S. 1987. Aliran-aliran Filsafat Dari Rasionalisme Hingga Sekularisme. Bandung. Alva Gracia.
Syadali Ahmad,dkk, 2004.  Filsafat Umum, Pustaka setia, Bandung
Slamet Iman Santoso R.1977. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta. Sinar Hudaya.
Wilbur Applebaum, 2005. The Scientific Revolution and the Foundations of Modern Science. Greenwood Guides to Historic Events, 1500–1900. Greenwood Press. London
"Terima Kasih anda telah berkunjung di web ini. Semoga penyajian saya menjadi inspirasi dan bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan.Selamat Menikmati!