KUMPARTA: Kontruksi Prespektif Tata Kelola Pemerintahan Yang Jujur Berbasis Ketauhidan
Diberdayakan oleh Blogger.

Postingan Populer

Kamis, 01 Maret 2012
BAB I
PENDAHULUAN


Latar Belakang

Sejak proklamasi 1945, kemerdekaan Negara Indonesia telah berusia setengah abad lebih, begitu juga dengan usia penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Panjangnya rentang waktu yang telah dilalui, sejarah menunjukan bahwa sejak itu pula, bangsa indonesia berada dalam pasang surut pemerintahan, mulai pemerintahan Presiden Sukarno 1945-1966 yang terkenal dengan pemerintahan Orde lama, yang kemudian dilanjutkan dengan pemerintahan Presiden Suharto 1967 – 1997 atau 30 tahun Republik Indonesia dalam Masa Orde Baru dengan gaya pemerintahan Sentralistik, kemudian setelah Presiden Suharto lengser, penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia beraada pada babak baru pemerintahan dengan sebutan era reformasi yang terkenal dengan 11 nilai/tuntutan rakyat yaitu :
1). Pencabutan mandat Soeharto sebagai presiden;  2). Adili Soeharto dan kroni-kroninya;  3).Penghapusan dwifungsi  TNI/ABRI;  4). Pemilu ulang yang luber, jurdil, dan demokratis; 5). TAP pemberantasan KKN; 6).TAP pengusutan pelanggaran HAM; 7).Amendemen konstitusi; 8). Cabut asas tunggal; 9). Otonomi seluas-luasnya; 10).Penurunan 4 harga kebutuhan pokok; 11). Jaminan ketersediaan lapangan kerja yang layak.      


Di era ini, tahta Kepemimpinan Nasional mulai tanggal 21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999 kursi Kepresidenan deserahkan pada BJ Habibie. Walaupun usianya cukup pendek dalam memerintah Preseiden BJ Habibie merupakan satu-satunya orang Timur Indonesia yang pernah menjadi Presiden Republik Indonesia. Kebijakan yang paling populer pada masa Pemerintahan Presiden  BJ Habibie adalah lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya konsep pemerintahan modern (New Public Management) atau konsep pemerintahan desentralisasi yang menawarkan sistem pemerintahan yang fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar.
Setelah berakhirnya masa presiden BJ Habibie, Presiden ke 4 RI adalah Presiden KH. Abdurrahman Wahid atau yang populer disebut dengan sebutan presiden “Gus Dur” yang merupakan satu-satunya Presiden Indonesia yang pernah mengelurakan dekrit pembubaran parlemen yang tidak terealisasi, selain itu memiliki cacat fisik permanen (tidak dapat melihat) sehingga disuatu kesempatan ketika desakan politik untuk meminta presiden mundur, dengan berseda gurau Presiden “Gus Dur” pernah melontarkan slogan “ Maju saja susah apalagi mundur”. Oleh karena, begitu kuatnya tekanan politik dalam negeri akhirnya pada tanggal 22 juli 2001 Presiden “Gus Dur” meninggalkan Istana Merdeka, dan pada tanggal    23 Juli 2001 Presiden “Gus Dur” di gantikan oleh Putri Presiden Sukarno yakni Megawati Sukarno Putri.
Presiden Megawati Sukarno Putri memerintah sejak 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004. Presiden Megawati merupakan satu-satunya Presiden perempuan yang pernah memimpin bangsa Indonesia, kebijakan yang paling populer di era presiden megawati adalah pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, jika presiden dan wakil presiden sebelumnya dipilih melalui lembaga DPR/MPR sejak era pemerintahan megawati, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat Indonesia. Selain itu kebijakan yang tidak kalah populernya dengan kebijakan tersebut, kebijakan melahirkan Undang-undang No. 32 tahun 2004 sebagai penganti Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahahan Daerah. Sejak inilah bangsa Indonesia telah mantap menyelenggarakan sistem pemerintahan berbasis New Public Management (NPM) atau berbasis pada nilai :
1) Catalictic government : streering rather than rowing; 2) Community-owened government : empowering rather than serving; 3) Competitif government : injecting competion into service delivery;          4) Mission-driven government : tensforming rule-driven organization; 5)Result oriented government : funding outcomes not inputs; 6) Customer-driven government : meeting the needs of the customer, not the bureaucracy; 7) Enterprising government : earning rather tahn spending; 8)Anticipatory government : prevention rather than cure; 8) Desentralized government : from hierarchy to participation and team work; dan 10) Market oriented government : leveraging change throught the market. Osborne dan Gaebler (1992). Serta berbasis pada Konsensus Washiton yang berorientasi pada disiplin fiskal, reordering publik expenditure priorities, reformasi perpajakan, liberalisasi interest rate, a competitive exchange rate, liberalisasi perdagangan, liberalisasi inward foreign direct investment, privatisasi, deregulasi dan property rights, Williamson (2004).

Intisari dari konsep tersebut dapat di jelaskan secara ringkas sebagai berikut :
1.    Pemerintahan katalis yaitu pemerintahan yang fokus pada pemberian penghargaan bukan pada produksi pelayanan publik. Artinya Pemerintah Daerah harus menyediakan beragam pelayanan publik, tetapi pemerintah tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya. Sebaiknya Pemerintah Daerah memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan atau sektor ketiga (LSM dan Organisasi Nirlaba lainnya), Pemerintah Daerah hanya melayani publik yang belum dapat dilakukan oleh pihak Non-Pemerintah.
2.    Pemerintahan milik masyarakat yaitu pemerintahan yang memberdayakan masyarakat daripada melayani. Disini pemerintah lebih diharapkan memberikan wewenang kepada masyarakat agar mereka mampu menolong dirinya sendiri (self-help community), dari pada dilayani.
3.    Pemerintahan yang kompetitif yaitu pemerintahan yang menyuntikkan semangat kompetisi dalam pelayanan publik, yang mana kompetisi adalah cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan.
4.    Pemerintahan yang digerakkan oleh misi yaitu pemerintahan yang mengubah organisasi yang digerakan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi.
5.    Pemerintahan yang berorientasi hasil yaitu diharapkan pemerintah dalam pelaksanaan pelayanan publik lebih berorientasi hasil dan bukan berorientasi pada input. Dalam hal ini Pemerintah Daerah yang enterprenuer akan menyumbangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan masalah yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik kinerjanya, semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.
6.    Pemerintahan yang berorientasi pada pelanggan yaitu pemerintahan yang memenuhi kebutuhan masyarakat bukan birokrasi. Pemerintah Daerah Tradisional seringkali salah dalam mengidentifikasi pelanggannya. Penerimaan pajak memang dari masyarakat dan dunia usaha, tetapi pemanfaatannya harus disetujui DPRD, akibatnya Pemerintah Daerah seringkali menganggap bahwa DPRD dan semua pejabat yang ikut dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah pelanggannya. Dalam kondisi seperti ini, Pemerintah Daerah akan memenuhi keinginan birokrasi, sedangkan pada masyarakat dan bisnis menjadi arogan.
7.    Pemerintahan Wirausaha yaitu pemerintahan yang mampu memberikan pendapatan dan tidak sekadar membelanjakan.
8.    Pemerintahan Antisipatif yaitu pemerintahan yang berupaya mencegah daripada mengobati. Pemerintah Daerah Tradisional yang birokratis memusatkan diri pada produksi pelayanan publik untuk mencegah masalah publik. Pemerintah Daerah tradisional yang birokratis bersifat reaktif, sedangkan Pemerintahan Wirausaha (enterprenuer) bersikap proaktif dan menggunkan perencanaan strategis untuk menciptakan visi.
9.    Pemerintahan Desentralisasi yaitu pemerintahan secara hirarki menuju partisipatif dan tim kerja. Pada sekitar 50 tahun lalu, pemerintahan sentralisasi dan hierarkhis sangat diperlukan. Namun saat ini sudah berubah, perkembangan teknologi sudah sangat maju, kebutuhan atau keinginan masyarakat dan bisnis sudah semakin komplek, dan staf Pemerintah Daerah sudah banyak yang berpendidikan tinggi. Dengan desentralisasi, pengambilan keputusan digeser ke tangan masyarakat, asosiasi-asosiasi, pelanggan dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
10. Pemerintahan yang berorientasi pada mekanisme pasar yaitu pemerintahan yang mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (sistem insentif) dan bukan dengan mekanisme administratif (pemaksaan, prosedur). Dalam mekanisme administratif, Pemerintah Daerah Tradisional menggunakan perintah dan pengendalian, mengeluarkan prosedur dan definisi baku dan kemudian memerintahkan orang untuk melaksanakannya sesuai dengan prosedur tersebut. Sedangkan dalam mekanisme pasar, Pemerintah Daerah Wirausaha tidak memerintahkan dan mengawasi tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat.

Sejalan dengan itu, tepatnya tanggal 20 September 2004 untuk pertama kali, rakyat Indonesia melakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dengan Presiden dan Wakil Presiden terpilih yakni Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK). Pada masa pemerintahan Presiden SBY-JK, pemantapan implementasi UU Pemerintahan Daerah telah dilakukan, hal ini nampak jelas dengan di keluarkanya Peraturan Pemerintah (PP) No.58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi, PP No.8 tahun 2006 tentang Kinerja Daerah, PERMENDAGRI No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah.
Setelah masa Pemerintahan SBY-JK selesai, selanjutnya untuk kedua kalinya tepatnya pada tanggal 8 Juli 2009 rakyat Indonesia melakukan pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 2009-2014, dengan menghasilkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden yaitu Susilo Bambang Yudoyono dan Budiono yang memperoleh suara sebanyak 60,80% dari jumlah suara. Dengan besarnya dukungan yang diberikan Rakyat Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono(SBY) untuk kedua kalinya memimpin bangsa Indonesia. Pada masa kepemimpinanya yang kedua semakin memantapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah, sehingga pata tahun 2010 dikeluarkan kembali Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah sebagai penganti Peraturan Pemerintah No.24 tahun 2005.   
Sejak berkuasa SBY-JK sampai SBY-Budiono memiliki motto berantas kemiskinan, berantas buta huruf dan akan menjadi orang yang paling didepan menghunus pedang melawan korupsi, namun demikian keteguhan Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam membenahi penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak berbanding lurus dengan keyataan yang menunjukan bahwa rakyat Indonesia semakin terbelenggu dalam kemiskinan. Faka membuktikan berdasarkan berita resmi BPS No.45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010 menunjukan bahwa jumlah Penduduk Miskin di Indonesia mencapai 31.020.000 Orang atau 13,33 persen dari total penduduk Indonesia, dengan tingkat keparahan terjadi di pedesaan mencapai 75%. Selain itu laporan UNDP, IPM bangsa Indonesia berada di peringkat ke-108 dari 177 Negara.  Sedangakan disisi lain KPK memberitakan bahwa, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2010 adalah 2,8 dan berada di peringkat ke-110 dari 178 Negara, dengan demikian apabila dibandingkan dengan indek korupsi tahun 2006 yang mana ditahun itu Indonesia menempati peringkat ke-103 dari 178 Negara, maka terjadi peningkatan aktivitas korupsi yang signifikan atau korupsi semakin membabi buta di Indonesia.
Bak pepatah melayu “Sudah jatuh tertimpa tangga pula”, itulah kenyataan pahit yang harus dihadapi Rakyat Indonesi saat ini. Disatu sisi kekayaan bangsa ini di korupsi, disisi lain rakyat Indonesia diperhadapkan pada rendahnya pada kualitas pelayanan publik seperti :

a.  Rendahnya respon aparatur terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat bahkan sering lambat diselesaikan atau sering diabaikan begitu saja, ini terjadi disemua tingkatan unsur pelayanan,
b.  Rendahnya kualitas informasi yang disampaikan kepada masyarakat, bahkan sering informasi tidak sampai sama sekali kepada masyarakat,
c.  Berbagai unit pelaksanaan pelayanan terletak berjauhan dan jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan,
d.  Rendahnya koordinasi antar unit pelayanan, sehingga sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antar instansi pelayanan,
e.  Berbelit-belitnya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan terlalu lama, bahkan sering dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengambil keuntungan sendiri (pungli) akibatnya pelayanan tidak efisien,
f.   Rendahnya profesionalisme, kompetensi, empati dan etika para aparatur dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat.
Selain itu, kondisi diatas diperburuk dengan perilaku oportunis Partai Politik, Anggota DPRD dan Kepala Daerah serta lemahnya kompetensi DPRD dalam menggunakan informasi akuntansi, mengakibatkan fungsi pengawasan dalam pengambilan keputusan baik politik maupun ekonomi tidak berjalan secara optimal. Sehingga memicu tak terkendalinya Moral Hazard Manajer Publik untuk melakukan korupsi. Kondisi seperti diatas juga dialami oleh masyarakat Maluku Utara, hal ini diperkuat dengan data BPK yang menunjukan bahwa :

Tabel 1.1
Perbandingan Alokasi Belanja Operasi dengan Belanja Modal
Tahun 2008
<> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <>
No
Nama Pemerintah Daerah
Belanja Operasi
Belanja Modal
Total
Presentasi
Belanja Operasi
Belanja Modal
1
Prov. Maluku Utara
 Rp 388.788.186.694
 Rp 179.506.254.159
 Rp 568.294.440.853
68%
32%
2
Kab. Halmahera Barat
 Rp 245.294.915.219
 Rp 116.257.107.504
 Rp 361.552.022.723
68%
32%
3
Kab. Halmahera Selatan
 Rp 348.253.141.852
 Rp 171.688.731.726
 Rp 519.941.873.578
67%
33%
4
Kab. Halmahera Tengah
 Rp 188.337.373.351
 Rp 195.979.028.015
 Rp 384.316.401.366
49%
51%
5
Kab. Halmahera Timur
 Rp 221.295.296.065
 Rp 195.250.723.363
 Rp 416.546.019.428
53%
47%
6
Kab. Halmahera Utara
 Rp 265.284.542.749
 Rp 163.218.241.837
 Rp 428.502.784.586
62%
38%
7
Kab. Kepulauan Sula
 Rp 177.041.014.512
 Rp 288.999.047.142
 Rp 466.040.061.654
38%
62%
8
Kab. Pulau Morotai *
 Rp                           -
 Rp                           -
 Rp                           -
0%
0%
9
Kota Ternate
 Rp 272.821.732.265
 Rp 156.480.956.605
 Rp 429.302.688.870
64%
36%
10
Kota Tidore Kepulauan
 Rp 337.525.844.822
 Rp 100.135.224.464
 Rp 437.661.069.286
77%
23%

Sumber : BPK RI (data diolah)
Ket :
Belanja Operasional    :    Belanja Operas! merupakan pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk menjalankan kegiatan operasional pemerintah sehari-hari.
Belanja Modal            :    Belanja Modal merupakan pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk membeli aset-aset tetap untuk mendukung kegiatan operasional pemerintah sehari-hari.


Tabel 1.2
Hasil Audit BPK untuk periode 2006-2010
No
Nama Pemerintah Daerah
Tahun LKPD
2006
2007
2008
2009
2010
1
Prov. Maluku Utara
WDP
TMP
TMP
TMP
TW
2
Kab. Halmahera Barat
TMP
WDP
TMP
TMP
TW
3
Kab. Halmahera Selatan
TMP
WDP
TMP
TMP
TW
4
Kab. Halmahera Tengah
TMP
TMP
TMP
TMP
TW
5
Kab. Halmahera Timur
WDP
WDP
TMP
TMP
TW
6
Kab. Halmahera Utara
TMP
TMP
TMP
TMP
TW
7
Kab. Kepulauan Sula
TMP
TMP
TMP
TMP
TW
8
Kab. Pulau Morotai *





9
Kota Ternate
WDP
WDP
TMP
TMP
TW
10
Kota Tidore Kepulauan
WDP
WDP
TMP
TMP
WDP
Sumber : BPK RI
Ket :
WTP          :    Opini Wajar Tanpa Pengecualian (unqualified opinion)
TW            :    Opini Tidak Wajar (adverse opinion)
*               :    Daerah pemekaran baru (belum wajib menyusun dan melaporkan LKPD)
**              :    Hasil pemeriksaan atas LKPD dalam proses penyelesaian
***             :    Pemeriksaan ditunda karena force major (banjir wasior)

Dengan demikian berdasarkan tabel 1 dan 2 tersebut dapat ditafsirkan bahwa sebesar apapun remunerasi (penambahan gaji) bagi Aparatur Pemerintah Daerah tidak memberikan efek positif terhadap perbaikan Kinerja Daerah. Hal ini terjadi karena, tidak adanya kontrak kinerja serta lemahnya kontrol dari rakyat dan partai politik terhadap penyelenggara pemerintahan, sehingga ketika terjadi asimetri informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah maka penyelenggara pemerintahan yakni Eksekutif dan Legislatif akan cenderung memilih prilaku oportunis (Moral hazard).  
    Kondisi tersebut sesuai dengan Asumsi teori agensi yang menyatakan bahwa agen akan mementingkan kepentingan sendiri, menghindari risiko, bertindak rasional, moral hazard (selalu mengharapkan hasil yang lebih besar dengan usaha yang sedikit), dan memproyeksikan diri mempunyai kapabilitas dan keahlian diri yang lebih tinggi dibandingkan yang sesungguhnya (Jensen & Meckling, 1976). Sehubungan dengan itu, maka harus diyakini bahwa tidak selamanya manajer akan bertindak untuk kepentingan terbaik principal. Dalam konteks teori agensi terkait dengan pemilihan kebijakan akuntansi, manajer akan bersifat oportunis untuk membela kepentingannya (Deegan 2004).
Selain itu, baik principle maupun agen diasumsikan bertindak rasional dan berupaya untuk memaksimalkan utilitasnya, oleh karena itu, masing-masing pihak akan senantiasa bertindak untuk kepentingannya sendiri (Hefzi 1988). Namun kondisi ini berbeda dengan kenyataan masyarakat (principle) di Kab/Kota di Provinsi Maluku Utara, jika menggunakan padangan teori agensi seharusnya masyarakat Maluku Utara memperoleh peningkatan kesejahteraan sebagai akaibat dari kepemilikan modal, akan tetapi justu pemiskinan yang terjadi. Data meunujukan pada tahun 2005 jumlah masyarakat miskin di Provinsi Malauku Utara sebanyak 114.405 orang atau 12 persen dari total penduduk Provinsi Maluku Utara. Setelah 5 tahun kemudian yaitu pada tahun 2009 data menunjukan bahwa jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 226.398 atau 22 persen dari jumlah penduduk Maluku Utara, sehingga nampak terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin di Maluku Utara sebanyak 10 persen, lihat tabel 1.3.
Tabel 1.3
Jumlah Penduduk Miskin di Propinsi Maluku Utara
Berdasarkan Daerah Kabupaten/Kota

<> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <> <>
No
Tahun 2005
Pend. Miskin Tahun 2009
Jlh Penduduk Tahun 2010
%
Jumlah penduduk 
Jlh Pend.
%
MM
M
SM
SMP(+)
JT
1
HALBAR
3292
4214
3800
8014
19320
97424
20%
44162
100424
44%
2
HALTENG
772
1476
2269
3745
8262
34410
24%
7993
42815
19%
3
KEP SULA
2270
3335
3514
6849
15968
129871
12%
33402
132524
25%
4
HALSEL
1667
3243
5447
8690
19047
188156
10%
30699
198911
15%
5
HALUT
3103
5134
7957
13091
29285
190835
15%
62588
214544
29%
6
HALTIM
3373
1045
2132
3177
9727
66965
15%
23450
73109
32%
7
KOTA TERNATE
1419
1492
1004
2496
6411
170016
4%
12202
185705
7%
8
KOTA TIDORE KEP
407
2133
856
2989
6385
81921
8%
11902
90055
13%












Total
16303
22072
26979
49051
959598
12%
1038087
22%
Sumber : Sensus Ekonomi Tahun 2005, Sensus Penduduk Msikin Provinsi Maluku Utara Tahun 2009 dan Sensus Penduduk 2010
Ket : MM : Mendekati Miskin, M : Miskin, SM : Sangat Miskin, SMP(+) : Sangat Miskin Plus (+),   JT : Jumlah Total


Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat***) dan Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.***)

Selain itu masyarakat (civil society) dan Partai Politik juga tidak mampu menafsirkan Undang-undang No.12 tahun 2008 pasal 56 ayat 1 dan 2 yang menyatakan :

Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. dan Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Akaibat dari ketidakmampuan masyarakat (civil society) dan Partai Politik  dalam memaknai Undang-undang tersebut maka masyarakat   (civil society) dan Partai Politik kehilangan kesadaran akan perannya sebagai principle yang menggunakan orang lain (agent) untuk menyelenggarakan beberapa tugas demi kepentingannya yang meliputi pendelegasian beberapa otoritas pengambilan keputusan oleh agen (eksekutif dan legislatif). Sehingga Hubungan keagenan yang dibangun tidak menimbulkan kontrak antara satu orang atau lebih (principle) menggunakan orang lain (agent) untuk menyelenggarakan beberapa tugas demi kepentingannya yang meliputi pendelegasian beberapa otoritas pengambilan keputusan oleh agen (eksekutif dan legislatif). Dengan demikian, wajar jika masyarakat (civil society) tidak pernah mendapatkan kesejahteraan yang dijanjikan dari sebuah pendelegasian otoritas dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. 
Oleh karena itu, konsep pemberatasan korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Good Local Government atau yang di Indonesiakan sebagai Tata kelola Pemerintahan yang Jujur, tidak akan tercapai apabila masyarakat (civil society) dan Partai Politik yang merupakan salah satu unsur utama dari penyelenggaraan pemerintahan tidak melaksanakan perannya sebagai prinsiple dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia. Sebagaimana dikemukakan UNDP bahwa unsur utama dalam penyelenggaraan kepemerintahan (governmant) yaitu state (negara), private sector (sektor swasta) dan civil sosiety organization (lembaga swadaya masyarakat serta partai politik).
Untuk itu, proposal penelitian ini akan mengekplorasi peran masyarakat (civil society) dan Partai Politik sebagai prinsiple dalam pendelegasian wewenang otoritasnya kepada Eksekutif dan Legislatif sebagai agent yang menjalankan amanah dari prinsiple serta dampaknya terhadap pertanggungjawaban pengelolaan keuangan dan kinerja Pemerintah Daerah.   
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat***) dan Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.***)

Dan  Undang-undang No.12 tahun 2008 pasal 56 ayat 1 dan 2 yang menyatakan :
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. dan Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Selain itu, mendapatkan memahaman masyarakat (civil society) yang meliputi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Keagamaan, Organisasi Kemahasiswaan  Intra Kampus, Organisasi Kemahasiswaan Ektra Kampus dan Organisasi Kepemudaan serta Partai Politik sebagai prinsiple dalam pendelegasian wewenang otoritasnya kepada Eksekutif dan Legislatif sebagai agent yang menjalankan amanah dari prinsiple tentang penafsiran konsep dan penerapan tata kelola pemerintahan yang jujur (good local governance) yang meliputi transparency, responsibility, fairness dan accountability
Pertama transparency yaitu suatu niat kuat dari penyelenggara pemerintah untuk benar-benar terbuka atas setiap sendi-sendi penyelenggaraan pemerintah. Pemerintah harus terbuka kepada masyarakat dalam membuat rencana pemerintahan, terbuka dalam pelaksanaan pemerintahan, terbuka dalam melakukan evaluasi terhadap hasil-hasil yang dilakukan. Dengan keterbukaan, setiap anggota masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui apa yang direncanakan, apa yang dilaksanakan, dan apa yang dihasilkan. Apabila hak-hak ini dapat dipenuhi oleh pemerintah, maka melalui mekanisme inilah sesungguhnya masyarakat menjadi bagian dari pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Kedua responsibility yaitu pemerintah dianggap tanggap terhadap kebutuhan masyarakat, dan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut dilakukan secara bertanggungjawab dengan mempertimbangkan unsur kualitas, efektifitas dan efisiensi. Ketiga fairness yaitu bahwa didalam membuat rencana, didalam implementasi, dan didalam menikmati hasil-hasil pembangunan pemerintah daerah melakukannya dengan adil. Keempat accountability yaitu bahwa pemerintah daerah memberikan pertanggungjawaban yang dilakukan secara terbuka kepada segenap lapisan masyarakat melalui mekanisme dan prosedur yang berlaku.
Dalam upaya mendapatkan pemahaman yang mendalam akan pemahaman peran tersebut dihadirkan pembanding atas kondisi penyelenggaran pemerintahan daerah yang menurut hasil penelitian lapangan Komisi Pemberantasan Korupsi telah menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik yakni :

Tabel 1.4
Provinsi dan Kabupaten/Kota yang menerapkan Good Governance


Kabupaten/Kota

Provinsi
Jenis Good Governance
yang diterpkan


Kab. Solok

Sumatra Barat
2.     Giro to giro
3.     Tunjangan Daerah
4.     Pakta Integritas
5.     Performance Agreement
6.     Pengadaan Barang dan Jasa
7.     Partisipasi Masyarakat
8.     Anggaran Berbasis Kinerja
9.     LAKIP
10.   Pola Partisipatif
11.   Refolfing Fund
12.   Dana Alokasi Umum Nagari (DAUN)

Kota Pekanbaru

Riau

2.     Tunjangan Kesejahteraan Daerah
3.     Anggaran Berbasis Kinerja
4.     Pendidikan
5.     Kesehatan


Gorontalo

1.     Tunjangan Daerah
2.     Performance Agreement
3.     Reorganisasi dan Tata Kerja
4.     Anggaran Berbasis Kinerja

Kab. Wonosobo

Jawa Tengah

Dinas Pelayanan Satu Pintu

Kota. Surakarta

Jawa tengah

2.      Tunjangan Kesejahteraan
3.      LAKIP

Kota Yogyakarta

Yogyakarta

2.      UPIK
3.      Penilaian Kinerja Individu
4.      Penilaian Kinerja Instansi
5.      Tunjangan Kesejahteraan

Kab. Sragen

Jawa Tengah

Kantor Pelayanan Terpadu

Kab. Jembrana

Bali

1.      Unit Pelayanan Terpadu
2.      Tunjangan Kesejahteraan
3.      Reorganisasi
4.      Kesehatan
6.      Dana bergulir

Kab. Gianyar

Bali

1.      Kantor Pelayanan Terpadu
2.      Kesehatan

Sumber : KPK 2006

Sebagai bahan perbandingan, penelitian ini hanya akan menggunakan satu Kabupaten pembanding yaitu Kabupaten Solok. Hal ini karena Kabupaten Solok merupakan Kabupaten yang telah menerapkan paling banyak jenis good governance diantara kabupaten/kota yang telah menerapkan good governance. Untuk itu berikut akan di hadirkan sekilas tentang penerapan good governance di Kabupaten Solok Provinsi Sumatra Barat.

Indikator Keberhasilan Praktek good governance kabupaten Solok.

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi secara umum terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan praktek good governance di suatu daerah, yaitu:
1.     Peningkatan Efisiensi dan Efektifitas Pengelolaan Sumberdaya merupakan indikator keberhasilan pelaksanaan good governance yang lebih mengarah kepada penghematan faktor input (masukan).
2.     Peningkatan Pelayanan Publik merupakan indikator keberhasilan pelaksanaan good governance yang menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan benar-benar ditujukan kepada masyarakat.
3.     Peningkatan HDI salah satu indikator keberhasilan good governance karena angka HDI menunjukkan kualitas hidup masyarakat, di mana masyarakat yang dimaksud merupakan sasaran dari program good governance ini.
4.     Peningkatan Partisipasi Masyarakat merupakan indikator keberhasilan good governance karena peran serta masyarakat merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam keberhasilan suatu kegiatan/pembangunan, karena masyarakat merupakan subyek sekaligus obyek.
5.     Peningkatan Transparansi merupakan salah satu indikator keberhasilan good governance karena kegiatan yang transparan akan mengurangi terjadinya kecurangan maupun kesalahan.
6.     Peningkatan Akuntabilitas adalah salah satu indikator keberhasilan praktek good governance karena seluruh kegiatan good governance yang dilaksanakan harus dapat diukur pelaksanaannya dan outputnya
7.     Penurunan Angka Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah salah satu indikator keberhasilan good governance karena program-program good governance tujuannya adalah mencegah tindak pidana korupsi secara dini.
8.     Peningkatan Angka Kesempatan Kerja dan Penurunan Angka Kemiskinan merupakan salahsatu indikator keberhasilan good governance karena program-program good governance pada akhirnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerahnya.

Untuk menilai praktek good governance berhasil atau gagal dilakukan oleh suatu daerah, ke delapan indikator tersebut tidak harus seluruhnya bisa dicapai. Ketercapaian indikator keberhasilan tersebut sangat tergantung dari jenis-jenis praktek good governance yang dilaksanakan. Namun apabila suatu daerah menginginkan seluruh indikator keberhasilan tersebut bisa dicapai, maka sebaiknya daerah tersebut melakukan praktek-praktek good governance secara terus menerus. Dengan cara tersebut, delapan indikator keberhasilan pelaksanaan good governance akan dapat dicapai.
Kabupaten Solok merupakan kabupaten yang telah menerapkan jenis good Governance meliputi : POSYANTU PLUS, Giro to giro, Tunjangan Daerah, Pakta Integritas, Performance Agreement, Pengadaan Barang dan Jasa, Partisipasi Masyarakat, Anggaran Berbasis Kinerja, LAKIP, Pola Partisipatif, Refolfing Fund dan Dana Alokasi Umum Nagari (DAUN). Untuk lebih jelasnya berikut akan dipaparkan mengenai maksud, tujuan dan kemanfaatan serta dampak dari pelaksanaan jenis-jenis good governance sebagai berikut :
1.         POSYANTU PLUS
Posyantu adalah sistem pelayanan perijinan dan non perijinan yang diperuntukkan bagi masyarakat melalui sistem 1 pintu. Artinya, untuk mengurus segala jenis perijinan dan non perijinan di bawah kewenangan Pemkab Solok, masyarakat cukup datang di satu lokasi (pintu). Pengambilan surat perijinan juga di lokasi yang sama. Tujuan Posyantu adalah untuk memberikan pelayanan perijinan dan non perijinan kepada masyarakat secara transparan dalam hal waktu, biaya dan prosedur. Hasil yang diperoleh oleh Pemkab Solok setelah melaksanakan Posyantu Plus adalah:
1)     Proses perijinan dan non perijinan di bawah tanggungjawab Pemkab.Solok terlaksana secara transparan, jelas biaya, waktu penyelesaian, syarat dan prosedur.
2)     Masyarakat terlayani dengan baik
3)     Akses masyarakat (termasuk masyarakat terpencil) terhadap perijinan/non perijinan menjadi lebih baik
4)     Proses pendataan catatan sipil kab. Solok menjadi lebih rapi (karena masyarakat memiliki kepedulian untuk melakukan pencatatan sipil sebagai kelanjutan dari akses yang baik)
5)     Proses suap yang biasa diberikan oleh pengurus perijinan kepada petugas menjadi sangat berkurang, bahkan tidak ada
6)     Meningkatkan kedisiplinan pengurus perijinan (masyarakat) dan petugas, karena segalanya harus mengikuti sistem
7)     Efisiensi sumberdaya (SDM dan sarana prasarana) karena setiap jenis perijinan/non perijinan yang masuk/keluar hanya melalui satu pintu.

2.         Giro to Giro

Giro to Giro merupakan perkembangan dari POSYANTU Plus. Apabila dalam POSYANTU Plus yang mendapatkan pelayanan adalah masyarakat, maka dalam G to G pelayanan prima diberikan kepada Unit Kerja di lingkungan Pemerintah Kabupaten Solok. Pelayanan G to G diberikan oleh Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) kepada Unit Kerja pengguna anggaran/pihak ketiga melalui Loket Satu Pintu pada BPKD. Tujuannya adalah untuk memberikan kemudahan Unit kerja Pengguna Anggaran dalam pengurusan uang; memberikan kepastian waktu pelayanan kepada Pemegang Kas; menghindarkan terjadinya praktek memberi dan menerima dalam pengurusan/penerbitan SPMU pada BPKD; dan mengurangi resiko terjadinya kehilangan uang bagi pemegang kas. Hasil yang didapatkan Kab. Solok dengan menerapkan praktek good governance giro to giro adalah:
1)     Unit Kerja/Pihak Ketiga terlayani dengan baik
2)     Sistem pencairan dana lebih efektif dan efisien karena tidak dalam bentuk uang tunai.
3)     Petugas BPKD bisa bekerja lebih fokus karena tidak ada unit kerja/ pihak ketiga yang minta didahulukan pencairan dana nya dengan berusaha menyuap.
4)     Efektifitas pekerjaan karena adanya pendelegasian wewenang
5)     Pengawasan kepada staff lebih baik



Tunjangan daerah adalah tambahan pendapatan yang diberikan kepada pegawai di lingkungan pemerintahan Kabupaten Solok, termasuk guru dan tenaga honorer yang diberikan setiap akhir bulan. Tujuan diberikannya tunjangan daerah di Kabupaten Solok adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai di lingkungan Pemkab Solok sekaligus menghilangkan istilah meja ‘mata air’ dan meja ‘air mata’. Dalam pelaksanaannya, pemberian tunjangan daerah tidak membebani anggaran APBD, karena sumberdana tunjangan daerah diperoleh dari pergeseran dana honorarium proyek-proyek yang telah dianggarkan di APBD. Dengan diberlakukannya tunjangan daerah, honor-honor proyek di lingkungan Pemkab. Solok secara resmi dihapuskan. Hasil yang dicapai Pemkab. Solok dengan menerapkan praktek good governance Tunjangan Daerah adalah:
1)     Meningkatkan pendapatan pegawai di bawah eselon III dan menurunkan rata-rata pendapatan pegawai di atas Eselon III
2)     Meningkatkan kedisiplinan pegawai, karena pemberian tunjangan daerah dikaitkan dengan absensi
3)     Mengurangi dan menghilangkan rasa iri di antara pegawai karena penggantian honor menjadi tunjangan daerah
4)     Menghilangkan istilah “meja mata air” dan “meja air mata”


4.         Pakta Integritas

Pakta Integritas adalah pernyataan untuk tidak menerima dan memberi dalam bentuk apapun secara ilegal dalam kaitan pelaksanaan tugas. Tujuannya adalah: 1) mewujudkan aparatur negara yang bersih, berwibawa serta bebas dari unsur KKN; 2) mewujudkan kesepakatan dan kejujuran bersama bagi pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat untuk menghindari terjadinya praktek-praktek KKN; 3) mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat yang prima (best excelent); 4) menuju birokrasi pemerintahan yang bersih, profesional, tanggap dan bertanggungjawab. Hasil yang dicapai Solok dengan adanya penerapan Pakta Integritas adalah:
1)     Berkurangnya secara drastis praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), terutama korupsi di lingkungan birokrat dan dunia usaha yang terkait dengan Pemkab;
2)     Timbulnya perasaan tenang dalam diri aparat Pemkab Solok walaupun diawasi oleh banyak pengawas independen, karena semua yang dilakukan berkaitan dengan pelaksanaan tugas, sesuai dengan prosedur (sebagai dampak pakta integritas yang diterapkan)
3)     Meningkatnya kinerja pegawai


5.         Performance Agreement

Performance Agreement adalah kontrak pelaksanaan program kerja selama 1 tahun yang akan dipertanggungjawabkan oleh Pihak I kepada Pihak II pada akhir tahun. Di Kabupaten Solok, performance agreement yang dilakukan adalah antara Bupati Solok (Pihak I) dengan DPRD Solok (Pihak II) dan antara Kepala SKPD Solok (Pihak I) dengan Bupati Solok (Pihak II). Hasil yang diperoleh Kab. Solok dengan menerapkan praktek good governance Performance Agreement adalah :
1)     Pengawasan pimpinan ke anak buah (pegawai) menjadi lebih baik
2)     Program kerja di unit teknis berjalan dengan baik
3)     Output yang dihasilkan oleh unit teknis optimal dan sesuai dengan rencana kerja tahunan
4)     Pegawai menjadi lebih disiplin dalam penyelesaian tugas


6.         Pengadaan Barang dan Jasa

Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Kabupaten Solok dimasukkan dalam praktek good governance tujuannya adalah agar pengadaan barang dan jasa pemerintah di Lingkungan Pemkab Solok dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan adil kepada semua pihak sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan masyarakat. Hasil yang dicapai Solok dengan adanya penerapan good governance Pengadaan Barang dan Jasa adalah:
1)     terjadi transparansi prosedur pengadaan barang dan jasa
2)     barang dan jasa yang dihasilkan memiliki kualitas yang memadai
3)     memberikan peningkatan kepercayaan sektor swasta kepada sektor pemerintah, karena adanya proses thender yang transparan
4)     Mencegah dan mengurangi praktek-praktek korupsi dan kolusi yang biasanya sering terjadi dalam praktek pengadaan barang dan jasa pemerintah

7.         Partisipasi masyarakat

Partisipasi masyarakat adalah suatu sistem yang mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pembangunan. Hasil yang diperoleh Solok dengan menerapkan praktek good governance Partisipasi Masyarakat adalah:
1)     Masyarakat merasa bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan pembangunan
2)     Program pembangunan yang dilakukan efektif karena direncanakan dan diinginkan oleh masyarakat
3)     Penyimpangan pelaksanaan pembangunan dapat diminimalisir karena diawasi oleh masyarakat

8.         Anggaran Berbasis Kinerja

Anggaran Berbasis Kinerja adalah sistem penyusunan anggaran unit kerja yang berdasarkan kinerja (program kerja) selama tahun yang bersangkutan. Kabupaten Solok menciptakan sistem dan prosedur penyusunan anggaran berbasis kinerja dengan mekanisme perencanaan partisipatif. Latar belakang penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja adalah adanya kebutuhan transparansi dalam pembiayaan program kerja pada setiap unit kerja. Diharapkan anggaran yang diajukan selalu berdasarkan program kerja yang direncanakan, bukan sebaliknya program kerja yang mengikuti anggaran yang tersedia. Hasil yang diperoleh Kab. Solok dengan mempraktekkan good governance Anggaran Berbasis Kinerja adalah:
1)     Kegiatan/program kerja yang dilakukan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat
2)     Masyarakat merasa terlibat dalam pelaksanaan kegiatan
3)     Hasil kegiatan mudah dipertanggungjawabkan (oleh kepala unit kerja ke bupati maupun oleh bupati kepada DPRD)
4)     Dana yang dipakai terukur
5)     Efisiensi dana, karena dana yang keluar sesuai dengan output yang dihasilkan.

9.         LAKIP

LAKIP merupakan media pertanggungjawaban yang dibuat secara periodik, memuat informasi yang dibutuhkan oleh pihak yang memberikan amanah atau pihak yang mendelegasikan wewenang. Materi LAKIP mengandung analisis pencapaian sasaran yang ditetapkan dalam Renstra untuk tahun yang bersangkutan. LAKIP di Kab. Solok memiliki 2 fungsi utama. Pertama, laporan akuntabilitas kinerja merupakan sarana bagi Pemkab. Solok untuk menyampaikan keterangan pertanggungjawaban kinerja kepada seluruh stakeholders (DPRD dan masyarakat). Kedua, laporan akuntabilitas kinerja merupakan sarana evaluasi atas pencapaian kinerja pemerintah Kab. Solok sebagai upaya untuk memperbaiki kinerja di masa datang. Dua fungsi utama LAKIP tersebut merupakan cerminan dari maksud dan tujuan penyusunan dan penyampaian LAKIP oleh setiap instansi pemerintah. Hasil yang diperoleh Pemkab. Solok dengan menerapkan praktek good governance LAKIP adalah:
1) Pencapaian kinerja Pemkab Solok dapat diukur
2) Pelaksanaan program kerja Pemkab Solok transparan
3) Pencapaian kinerja Pemkab Solok dapat dievaluasi
4) Efisiensi dalam pelaksanaan program kerja


10.      Pola Partisipatif

Pola partisipatif adalah salah satu bentuk kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan mengikutsertakan masyarakat dalam proses kegiatan pembangunan (perbaikan) fisik, sarana dan prasarana umum, khusus sektor pekerjaan umum (irigasi, jalan, air bersih, dan penyehatan lingkungan), pendidikan (sekolah TK, SD, SLTP,SLTA negeri maupun swasta) dan kesehatan (Puskel,posyandu). Tujuan Pola Partisipatif adalah membantu masyarakat dan pemkab dalam menjaga aset-aset fisik PU, pendidikan dan kesehatan di tingkat nagari. Hasil yang diperoleh Solok dengan menerapkan praktek good governance Pola Partisipatif adalah:
1)     Asset sarana dan prasarana Pemkab. Solok di tingkat nagari menjadi lebih terawat
2)     Mengurangi pekerjaan pemkab dalam pemeliharaan asset fisik di Nagari
3)     Peningkatan partisipasi masyarakat nagari dalam perbaikan dan perawatan asset pemkab di nagari (tenaga dan dana)
4)     Peningkatan tanggungjawab masyarakat nagari dalam penggunaan asset pemkab yang ada di nagari
5)     Penghematan anggaran pemkab (APBD) dalam pembangunan fisik sarana dan prasarana di tingkat nagari


11.      Refolfing Fund

Revolving Fund adalah sistem pembiayaan usaha yang diberikan oleh Pemkab.Solok kepada usaha kecil melalui sistem pinjaman dengan bunga yang sangat kecil (6%/tahun). Kegiatan pembiayaan ini dilakukan secara berlanjut (dengan terus memutar modal) sehingga jumlah usaha kecil yang dibiayai terus bertambah. Tujuan program ini adalah untuk membantu masyarakat mengatasi masalah permodalan dan mengembangkan kegiatan usaha yang sudah ada sekaligus mendidik masyarakat disiplin dalam mengatur keuangan. Tujuan lebih luas adalah untuk meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat di daerah. Hasil yang diperoleh Solok dengan menerapkan praktek good governance Revolving Fund adalah:
1)     Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pelaku usaha
2)     Menghidupkan dan mengembangkan usaha rumahtangga dan usaha kecil
3)     Meningkatkan PAD Kab. Solok, karena pendapatan dari bunga pinjaman revolving fund dimasukkan dalam PAD
4)     Meningkatkan aktivitas ekonomi di nagari dan kecamatan akibat kegiatan usaha yang berkembang
5)     Mulai tumbuh lembaga keuangan baru (BPR) di tingkat kecamatan sebagai akibat kegairahan ekonomi yang mulai tercipta
6)     Tumbuh usaha-usaha baru yang komplemen dengan usaha yang dibiayai oleh revolving fund.


12.      DAUN

DAUN adalah pemberian dana yang bersumber dari APBD dalam bentuk block grant kepada nagari dalam rangka memberdayakan nagari. Penggunaan DAUN adalah untuk melaksanakan tugas pelayanan dan pemerintah nagari;pembuatan monografi nagari; musyawarah nagari; serta menunjang kegiatan pemeliharaan sarana dan prasarana sosial, ekonomi, sarana agama dan adat serta fasilitas umum lainnya. Dengan nilai antara 75 sampai 150 juta per nagari, dana DAUN digunakan untuk biaya rutin 60 persen dan biaya pembangunan nagari 40 persen. Hasil yang diperoleh Solok dengan menerapkan praktek good governance DAUN adalah:
1)     Pemerintah Nagari dapat melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakatnya
2)     Sarana dan prasarana sosial, ekonomi, agama,adat serta fasilitas umum lainnya di tingkat nagari dapat terpelihara dengan baik












Simpulan

Dengan menghadirkan kabupaten Solok sebagai  pembanding dalam penerapan tata kelolah pemerintahan daerah yang jujur, maka terlihat sangat nyata bahwa saat ini Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku secara umum belum menerapkan tata kelola pemerintahan yang jujur. Hal ini tercermin dari tingginya tingkat kemiskinan di Kabupaten/Kota se Provinsi Maluku Utara yang mencapai 114.405 orang atau 12 persen dari total penduduk pada tahun 2005 dan meningkat 10% pada tahun 2009 menjadi 226.398 orang atau 22 persen dari jumlah penduduk pada tahun bersangkutan. Hal ini jika dilihat dari alokasi APBD rata-rata setiap tahun untuk kabupaten/kota mencapai Rp  445.795.262.483 Per kabupaten/Kota artinya selama lima tahun terakhir setiap kabupaten/kota menghabiskan dana sebanya Rp 2.228.976.312.413 atau sebesat Rp 20.060.786.811.720 untuk Provinsi Maluku Utara. Dari jumlah tersebut rata-rata sebesar 61% atau Rp 12.237.079.955.149 di alokasikan untuk belanja operasional dan hanya 39% atau   Rp 7.823.706.856.571 di alokasikan untuk belanja modal. Namun lebih ironi lagi berdasarkan hasil audit BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah 3 tahun terakhir yakni tahun 2008 dan 2009 secara keseluruhan Pemerintah Daerah yang berada di Provinsi Maluku Utara termasuk PEMDA Provinsi Maluku Utara mendapat disclaimer of opinion atau Pernyataan Menolak Memberikan Opini atau Tidak Memberikan Pendapat. Sedangkan pada tahun 2010,  1 Provinsi, 6 Kabupaten, dan 1 Kota mendapat Opini Tidak Wajar (adverse opinion) dan hanya 1 Kota yang mendapatkan Opini Wajar Dengan Pengecualian (qualified Opinion).  Maka seharusnya tingkat kemiskinan di Maluku Utara terjadi penurunan yang signifikan. Namun demikian melihat hasil audit BPK RI memastikan bahwa peningkatan kemiskinan di Maluku Utara menjadi hal lazim terjadi akibat dari hilangnya kontrak kinerja antara civil society dan Partai Politik sebagai akuntabilitas partai terhadap civil society serta tidak adanya kontrol dari civil society dan Partai Politik akibat rendahnya pemahaman sebagai principle atas kepemilikan dana publik. Akhirnya prilaku oportunis dari penyelenggara pemerintahan daerah semakin menggila dan menggilas dana publik. 
Oleh karena itu perlu ditekankan bahwa Pemanfaatan Istilah Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik dalam proses pendelegasiaan otoritas atau kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan baik lokal maupun nasional tidak memberikan manfaat yang memadai bagi pemberi otoritas atau kewenangan itu sendiri. Hal ini, karena konsep Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik mengandung asumsi “semua orang bertindak dimotivasi oleh kepentingan pribadi, bahkan tindakan oportunispun akan dilakukan selama tindakan tersebut akan meningkatkan kesejahteraan mereka”. Artinya konsep tersebut memposisikan hubungan keagenan antara principle dan agent (P-A) sebatas pada pemenuhan kebutuhan kesejahteraan peribadi, atau dalam filosofi jawa disebut “ Rashaning Karep”. Sehingga konsep Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik saat ini hanya membangun Agency Theory, Legitimasi Theory, Stakeholder Theory dan Political Economic theory yang buta, sebagaimana filsafat islam “Agama tanpa Ilmu sama dengan Pincang dan Ilmu Tanpa Agama sama dengan Buta”.
Untuk itu, saatnya konsep Tata kelola pemerintahan yang baik menuju Tata kelola pemerintahan yang jujur yang meliputi : Transparency yaitu suatu niat kuat dari penyelenggara pemerintah untuk benar-benar terbuka atas setiap sendi-sendi penyelenggaraan pemerintah. Pemerintah harus terbuka kepada masyarakat dalam membuat rencana pemerintahan, terbuka dalam pelaksanaan pemerintahan, terbuka dalam melakukan evaluasi terhadap hasil-hasil yang dilakukan. Dengan keterbukaan, setiap anggota masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui apa yang direncanakan, apa yang dilaksanakan, dan apa yang dihasilkan. Apabila hak-hak ini dapat dipenuhi oleh pemerintah, maka melalui mekanisme inilah sesungguhnya masyarakat menjadi bagian dari pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Responsibility yaitu pemerintah dianggap tanggap terhadap kebutuhan masyarakat, dan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut dilakukan secara bertanggungjawab dengan mempertimbangkan unsur kualitas, efektifitas dan efisiensi. Fairness yaitu bahwa didalam membuat rencana, didalam implementasi, dan didalam menikmati hasil-hasil pembangunan pemerintah daerah melakukannya dengan adil. Accountability yaitu bahwa pemerintah daerah memberikan pertanggungjawaban yang dilakukan secara terbuka kepada segenap lapisan masyarakat melalui mekanisme dan prosedur yang berlaku. Yang kesemuanya itu berdimensi “Kareping Rasha” yakni kesadaran atas tanggunjawab keimanan, ketaqwaan dan ahlak mulia yang berlandaskan pada kepatuhan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri, kecintaan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri, pengakuan orang yang bersyukur atas nikmat yang disyukuri, sanjungan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri atas nikmatnya dan tidak menggunakan nikmat itu untuk hal-hal yang tidak disukai oleh yang disyukuri. Sehingga konteks tata kelola pemerintahan yang jujur akan bermuara pada tata kelola pemerintahan yang amanah. Dengan demikian tentu terbangun Agency Theory, Legitimasi Theory, Stakeholder Theory dan Political Economic theory yang bermuara pada dimensi “rahmatan lilalamin”.





Referensi :
BPK RI, 2007, 2008, 2009 dan 2010, Hasil Audit LKPD Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se Provinsi Maluku Utara.
Deegan, C. 2006. Financial Accounting Theory.2 Edition. Mcgraw-Hill Australia Pty Ltd.
Jensen, M.C. 1983. “Organization Theory And Methodology”. Accounting Review. Vol. LVIII No. 2. pp. 319-339
KPK, 2006 Mengukur Keberhasilan Kabupaten Solok dalam Pelaksanaan Pemerintahan yang Baik.
KPK, 2006. Pelaksanaan Tata Kelola Pemerintahan Yang BaikPengalaman Empirik : Kab. Solok, Kota Pekanbaru, Prov. Gorontalo, Kab. Wonosobo, Kota Yogyakarta, Kota Surakarta, Kab. Sragen,  Kab. Gianyar dan Kab. Jembrana. Direktorat Penelitian dan Pengembangan
Republik Indonesia, Undang-undang Dasar  tahun 1945.
_______________,, Undang-undang No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
_______________, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
_______________, Undang-undang No.15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
_______________, Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
_______________, Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.
_______________, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
_______________, Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
_______________, Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
_______________, Peraturan pemerintah No. 79 tahun 2005 Tentang Pedoman pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan daerah.
_______________, Intruksi Presiden No.7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. 
_______________, Peraturan Menteri Dalam Negeri  No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
_______________, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 Tentang Pelaporan keuangan dan kinerja instansi pemerinta
_______________, Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
_______________, Undang-undang No.12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah.
PNPM mandiri Perkotaan, 2006. Modul Good Governance. Departemen pekerjaan Umum RI.
UNDP, 2000. Tata Pemerintahan menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan. Buleting informasi program kemitraan untuk pembaharuan tata pemerintahan di Indonesia.


0 komentar:

"Terima Kasih anda telah berkunjung di web ini. Semoga penyajian saya menjadi inspirasi dan bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan.Selamat Menikmati!