Diberdayakan oleh Blogger.
Postingan Populer
-
Simposium Nasional Akuntansi 15 dilaksanakan di Banjarmasin Tahun 2012. untuk mendownload Jurnal SNA 15 silahkan klic Link dibawah ini : ...
-
Simposium Nasional Akuntansi 13 dilaksanakan di Purwokerto Tahun 2010. untuk mendownload Jurnal SNA 13 untuk masing-masing bidang silahkan k...
-
Simposium Nasional Akuntansi 14 dilaksanakan di Aceh Tahun 2011. untuk mendownload Jurnal SNA 14 silahkan klic Link dibawah ini : ...
-
Simposium Nasional Akuntansi 16 dilaksanakan di Manado 25-28 September 2013. untuk mendownload Jurnal SNA 16 silahkan klic Link dibawah in...
-
Simposium Nasional Akuntansi 11 dilaksanakan di Pontianak tahun 2008. untuk mendownload Jurnal SNA 11 silahkan klic tautan dibawah ini : ...
Sabtu, 19 Mei 2012
Ilmu Pengetahuan Tanpa Agama Buta
Agama Tanpa Ilmu Pengetahuan Pincang
Pendahuluan
Ilmu
Pengetahuan dan Agama prinsipnya adalah sama-sama konsep Realitas, yang berbeda adalah Ilmu
Pengetahuan mengklaim sebagai pemilik kutup fakta-fakta atau lebih dikenal dengan konsep modernitas
sebagaimana yang dipelopori oleh Auguste Comte, Sigmund Freud, Karl
Marx, dan Bertrand Russell, sedangkan
Agama mengklaim sebagai pemiliki kutup spiritual atau konsep alam semesta. Perbedaan
klaim inilah yang akhirnya
memunculkan sikap perang antara orientasi ilmu pengetahuan dan Agama. Ilmu
menyangkal validitas untuk agama
dan Agama menyangkal validitas untuk ilmu pengetahuan. Namun, pada umumnya, agama klasik tidak
pernah menyangkal ilmu, hal ini karena (a). Ilmu pengetahuan bukanlah ancaman
(hanya dengan modernitas ilmu tidak cukup kuat untuk membunuh Tuhan), dan (b).
Karena ilmu pengetahuan selalu dianggap sebagai salah satu dari beberapa
perilaku mode jasmani dan mode rohani. Pada saat yang sama, perlu dicatat bahwa
ilmu-ilmu kuno yang disampaikan oleh Newton, Galileo dan Kepler cenderung membuat ilmu itu
sendiri menjadi agama baru yaitu agama positivisme (seperti apa yang diusulkan
oleh Auguste Comte).
Hal ini sejalan dengan pokok
pikiran para tokoh modernisme yang menegaskan bahwa pengetahuan tidak
berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa,
tetapi dari diri manusia sendiri. Ada 7 aliran yang meramaikan kancah modernism yaitu aliran idealism, materialisme, dualisme, empirisme, fenomenalisme dan intusionalisme, namun tentang aspek mana yang berperan ada tiga arus utama yang dominan mewarnai filsafat
modern yakni pertama aliran
rasionalisme yang beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio (akal) : kebenaran pasti berasal dari rasio (akal), kedua aliran empirisme, sebaliknya, yang meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik
yang batin, maupun yang inderawi dan yang ketiga
adalah aliran kritisme yang memadukan kedua pendapat tersebut.
Disisi lain para penganut
epistemologis pluralisme tradisional seperti mistikus Kristen St. Bonaventure
dan Hugh St Victor menyatakan bahwa setiap manusia memiliki mata hati, mata pikiran
dan mata kontemplasi. Masing-masing memiliki dimensi dan objek yang
berbeda-beda (misalnya : kasar, halus dan sebab-akibat), dan masing-masing
memiliki keyakinan yang berbeda tentang realitas alam. Inilah yang selanjutnya
memberi kita keseimbangan pengetahuan empiris (Sains),
pengetahuan rasional (logika dan matematika),
dan pengetahuan spiritual (gnosis).
Pengetahuan
dari Ketiganya (mata hati, mata pikiran dan mata kontemplasi), tentu saja,
hanya versi sederhana dari rantai besar yang universal. Jika kita gambarkan,
rantai besar tersebut memiliki lima tingkat yakni (matter, body, mind, soul,
and spirit), begitu pula dengan manusia, mereka
memiliki lima mata yang telah tersedia yakni (material prehension, bodily
emotion, mental ideas, the soul’s archetypal cognition, and spiritual gnosis).
Demikian juga, jika rantai besar dibagi ke dalam dua belas tingkatan, maka kita
juga akan memiliki dua belas mata, atau dua belas tingkat kesadaran dan
pengetahuan. Sebagaimana di kemukakan oleh filsuf mistik dunia
“Plotinus-arguably” yang membagi rantai besar tersebut kedalam dua belas
tingkatan yakni matter, life, sensation, perception, impulse, images,
concepts, logical faculty, creative reason, world soul, nous, and the One.
Intinya
adalah bahwa, dengan cara apapun kita membagi tingkat besar tersebut kedalam
baik, tiga tingkat, lima tingkat, dua belas tingkat atau lebih, laki-laki dan
perempuan telah tersedia untuk mereka setidaknya tiga mata dasar untuk
mengetahui: mata hati (Empirisme), mata pikiran (rasionalisme) dan mata
kontemplasi (mistisisme), yang masing-masing penting dan cukup berlaku ketika
berhadapan dengan tingkatnya sendiri, tetapi akan berbeda ketika melihat domain
yang lainnya. Ini adalah jantung pluralisme epistemologis, dan sejauh
memandang, itu memang cukup berlaku.
Sekarang, jika keberadaan tiga mata
tersebut digunakan untuk melihat fakta modernitas, maka hubungan ilmu
pengetahuan dan agama akan tidak ada masalah sama sekali. Hal ini karena, Sains
empiris akan mampu menyerap fakta-fakta yang disampaikan oleh mata hati, roh (atau mata kontemplasi) dan agama akan mampu
menyerap fakta-fakta disampaikan oleh mata pikiran.
Akan tetapi bagi arus utama modernitas akan tetap pada keyakinanya yakni tidak
mengakui realitas mata hati,roh. Arus utama
Modernitas mengakui hanya pada mata pikiran bukan pada mata hati, atau kontemplasi, dominasi pandangan inilah dalam dunia
modern dikenal dengan materialisme ilmiah, sehingga tidak mempertimbangkan
sains ilmu holistic dari teori sistem atau subatomic physics dari peristiwa
fisika kuantum, pokoknya bahwa ilmu pengetahuan adalah mata pikiran terkait
dengan bukti-bukti yang ditawarkan oleh indra empiris. Dalam kasus ini tidak
ada mata kontemplasi atau mata hati diperlukan atau
bahkan diperbolehkan.
Kesulitan sesungguhnya, kemudian, adalah
bagaimana bisa menghadirkan atau mengitegrasikan empirisme, rasionalisme, dan
mistisisme secara bersama-sama dalam satu
pandangan. Untuk
menjawab hal itu, sebenarnya merupakan bagian yang mudah. Bahkan semua orang
percaya, bahwa ketiganya dapat dihadirkan secara bersama. Bagian yang sulit
adalah modernitas yang tidak menerima keberadaan (transmental, transrational,
transpersonal, dan mode kontemplatif),
dan yang merasa tidak perlu ada integrasi apapun. Untuk apa mencoba
mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan Santa Claus?. Inilah yang sampai saat ini menjadi keyakinan para tokoh aliran idealism,
materialisme, dualisme, empirisme, fenomenalisme dan intusionalisme dalam memaknai ilmu pengetahuan dan
agama.
Aliran Rasionalisme
Rasionalisme merupakan faham
atau aliran atau ajaran yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal.Selain
itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki. Zaman
Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke
XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan
yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata,
penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu
pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu
alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang
terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang
hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII
dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap
dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal
Fisika Inggeris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian
kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua
gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa
Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi
dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang
makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu
berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang
menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena
kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
Aliran
rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku
Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu
sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan
segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian
kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan
bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi
dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak
dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi
kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan sesuatu, aku
menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain kata kesangsian itu
langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku
berpikir (= menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat
disangkal lagi. — Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti
itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”, “clara et
distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus
diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan
kebenaran.
Descartes
menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir,
yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan (res extensa,
“extention”) atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya
sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu). Pikiran
sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi
menjadi bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil tempat
dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari
Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga.
Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas
pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang
hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang,
dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat,
bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena
dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah
komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan). Descartes adalah pelopor kaum rasionalis,
yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
Tokoh-tokohnya
1.
Rene Descartes (1596 -1650)
2.
Nicholas Malerbranche (1638
-1775)
3.
B. De Spinoza (1632 -1677 M)
4.
G.W.Leibniz (1946-1716)
5.
Christian Wolff (1679 -1754)
6.
Blaise Pascal (1623 -1662 M)
Aliran Empirisme
Aliran
empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang
bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang
menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan
bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Dua
hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima
substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang
selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil
penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti
itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman
itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut
kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas,
diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan
bukan yang lainnya? Bagi Hume, “aku” tidak lain hanyalah “a bundle or
collection of perceptions (= kesadaran tertentu)”. kausalitas. Jika gejala tertentu
diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas,
kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberi
kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan
sebab-akibat. Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita
saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari “probable” (berpeluang). Maka
Hume menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak
melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita. Hukum
alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang “hukum alam” atau
“sebab-akibat”, sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang
merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan
kita saja. Hume merupakan pelopor
para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal
dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang
bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
Empirisme berasal dari kata
Yunani yaitu "empiris" yang berarti pengalaman inderawi. Oleh karena
itu empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber
utama pengenalanan dan yang dimaksudkan dengannya adalah baik pengalaman
lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut
pribadi manusia. Pada dasarnya Empirisme sangat bertentangan dengan
Rasionalisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari
ratio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang
kabur. sebaliknya Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari
pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas
dan sempurna.
Seorang yang beraliran
Empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan didapat melalui penampungan
yang secara pasif
menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan
betapapun rumitnya dapat dilacak kembali dan apa yang tidak dapat bukanlah ilmu
pengetahuan. Empirisme radikal berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat
dilacak sampai kepada pengalaman inderawi dan apa yang tidak dapat dilacak
bukan pengetahuan. Lebih lanjut penganut Empirisme mengatakan bahwa pengalaman
tidak lain akibat suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, kemudian di
dalam otak dipahami dan akibat dari
rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah
merangsang alat-alat inderawi tersebut. Empirisme
memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan, malah barangkali merupakan
satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan menurut penganut Empirisme.
Pengalaman inderawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.
Tokoh-tokohnya.
1.
Francis Bacon (1210 -1292)
2.
Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
3.
John Locke ( 1632 -1704)
4.
George Berkeley ( 1665 -1753)
5.
David Hume ( 1711 -1776)
6.
Roger Bacon ( 1214 -1294)
Aliran Kritisme
Aliran
kritismen muncul untuk
mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu yakni rasionalisme dan Empirisme. Sebagai pelopor aliran kritisme Imanuel
Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang
bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar
separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia
berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang
menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada
kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang
dunia.
Kant
setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia
“itu sendiri” (“das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak
“bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur
yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang
pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita
ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu
adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan.
Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses
yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terbantahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik
atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar
bagi aneka aliran filsafat masa kini.
Aliran Idealisme
Idealisme merupakan suatu ajaran/faham
atau aliran yang menganggap bahwa realitas ini terdiri atas roh-roh (sukma)
atau jiwa. ide-ide dan pikiran atau yang sejenis dengan itu. Dalam perkembangannya aliran ini merupakan aliran
yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran manusia. Mula-mula dalam
filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. yang
menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan
sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan
saja dari alam idea itu. Aristoteles memberikan sifat kerohanian
dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie)
yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu.
Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham idealisme hilang
sarna sekali. Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang
disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini. Pada jaman Aufklarung ulama-ulama filsafat yang mengakui aliran
serba dua seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat
kerohanian dan kebendaan maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih
penting daripada kebendaan. Selain
itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut Idealisme
yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil
filsafat yang mendalam. Puncak jaman Idealiasme pada masa abad ke-18 dan 19
ketika periode Idealisme. Jerman sedang besar sekali pengaruhnya di Eropa.
Tokoh-tokohnya.
1.
Plato (477 -347 Sb.M)
2.
B. Spinoza (1632
-1677)
3.
Liebniz (1685 -1753)
4.
Berkeley (1685 -1753)
5.
Immanuel Kant (1724
-1881)
6.
J. Fichte (1762
-1814)
7.
F. Schelling (1755
-1854)
8.
G. Hegel (1770 -1831)
Aliran Materialisme
Materialisme merupakan faham
atau aliran yang menganggap bahwa dunia ini tidak ada selain materi atau nature
(alam) dan dunia fisik adalah satu. Dalam perkembangannya sekitar abad pertama masehi
faham Materialisme tidak mendapat tanggapan yang serius, bahkan pada abad
pertengahan, orang menganggap asing terhadap faham Materialisme ini. Baru pada
jaman Aufklarung (pencerahan), Materialisme mendapat tanggapan dan penganut
yang penting di Eropa Barat. Pada
abad ke-19 pertengahan, aliran Materialisme tumbuh subur di Barat. Faktir yang
menyebabkannya adalah bahwa orang merasa dengan faham Materialisme mempunyai
harapan-harapan yang besar atas hasil-hasil ilmu pengetahuan alam. Selain itu,
faham Materialisme ini praktis tidak memerlukan dalil- dalil yang muluk-muluk
dan abstrak, juga teorinya jelas berpegang pada kenyataan- kenyataan yang jelas
dan mudah dimengerti.
Kemajuan aliran ini mendapat
tantangan yang keras dan hebat dari kaum agama dimana-mana. Hal ini disebabkan
bahwa faham Materialisme ini pada abad ke-19 tidak mengakui adanya Tuhan
(atheis) yang sudah diyakini mengatur budi masyarakat. Pada masa ini, kritikpun
muncul di kalangan ulama-ulama barat yang menentang Materialisme. Adapun kritik yang dilontarkan adalah sebagai berikut :
- Materialisme menyatakan bahwa alam wujud ini terjadi dengan sendirinya dari khaos (kacau balau). Padahal kata Hegel. kacau balau yang mengatur bukan lagi kacau balau namanya.
- Materialisme menerangkan bahwa segala peristiwa diatur oleh hukum alam. padahal pada hakekatnya hukum alam ini adalah perbuatan rohani juga.
- Materialisme mendasarkan segala kejadian dunia dan kehidupan pada asal benda itu sendiri. padahal dalil itu menunjukkan adanya sumber dari luar alam itu sendiri yaitu Tuhan.
- Materialisme tidak sanggup menerangkan suatu kejadian rohani yang paling mendasar sekalipun.
Tokoh-tokohnya.
1. Anaximenes ( 585 -528)
2. Anaximandros ( 610 -545 SM)
3. Thales ( 625 -545 SM)
4. Demokritos (kl.460 -545 SM)
5. Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
6. Lamettrie (1709 -1715)
7. Feuerbach (1804 -1877)
8. H. Spencer (1820 -1903)
9. Karl Marx (1818 -1883)
Aliran Dualisme
Dualisme merupakan ajaran atau
aliran/faham yang memandang alam ini terdiri atas dua macam hakekat yaitu
hakekat materi dan hakekat rohani. Kedua macam hakekat itu masing-masing bebas
berdiri sendiri, sama azazi dan abadi. Perhubungan antara keduanya itu
menciptakan kehidupan dalam alam Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja
sama kedua hakekat ini adalah terdapat dalam diri manusia.
Tokoh-tokohnya.
1.
Plato (427 -347 Sb.H)
2.
Aristoteles (384 -322 Sb.H)
3.
Descartes (1596 -1650)
4.
Fechner(1802 -1887)
5.
Arnold Gealinex
6.
Leukippos
7.
Anaxagoras
8.
Hc. Daugall
9.
Schopenhauer (1788 -1860)
Aliran Fenomenalisme
Secara harfiah Fenomenalisme
merupakan aliran atau faham
yang menganggap bahwa Fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan
kebenaran. Seorang Fenomenalisme suka melihat gejala. Dia berbeda dengan
seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi,
serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenalisme bergerak di bidang yang
pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang
evidensi yang langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran, "a
way of looking at things".
Gejala adalah aktivitas,
misalnya gejala gedung putih adalah gejala akomodasi, konvergensi, dan fiksasi
dari mata orang yang melihat gedung itu, di tambah aktivitas lain yang perlu
supaya gejala itu muncul. Fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat Brentano
bahwa subjek dan objek menjadi satu secara dialektis. Tidak mungkin ada hal
yang melihat. Inti dari Fenomenalisme adalah tesis dari
"intensionalisme" yaitu hal yang disebut konstitusi.
Menurut Intensionalisme
(Brentano) manusia menampakkan dirinya sebagai hal yang transenden, sintesa
dari objek dan subjek. Manusia sebagai entre au monde (mengada pada alam)
menjadi satu dengan alam itu. Manusia mengkonstitusi alamnya. Untuk melihat
sesuatu hal, saya harus mengkonversikan mata, mengakomodasikan lensa, dan
mengfiksasikan hal yang mau dilihat. Anak yang baru lahir belum bisa melakukan
sesuatu hal, sehingga benda dibawa ke mulutnya.
Tokoh-tokohnya.
1.
Edmund Husserl (1859 -1938)
2.
Max Scheler (1874 -1928)
3.
Hartman (1882 -1950)
4.
Martin Heidegger (1889 -1976)
5.
Maurice Merleau-Ponty (1908
-1961)
6.
Jean Paul Sartre (1905 -1980)
7.
Soren Kierkegaard (1813 -1855)
Aliran Intusionalisme
Intusionalisme merupakan suatu aliran atau
faham yang menganggap bahwa intuisi (naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan
dan kebenaran. Intuisi termasuk salah satu kegiatan berfikir yang tidak
didasarkan pada penalaran. Jadi Intuisi adalah non-analitik dan tidak
didasarkan atau suatu pola berfikir tertentu dan sering bercampur aduk dengan
perasaan.
Tokoh-tokohnya.
1.
Plotinos (205 -270)
2.
Henri Bergson (1859
-1994)
Referensi :
Baker, Anton. 1984.
Metode-metode Filsafat. Jakarta. Ghalia Indonesia.
Beering, RF. 1966. Filsafat
Dewasa ini. Jakarta. Penerbit Balai Pustaka.
Bertens, K 1989.
Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta. Kanisius.
_________, 1998. Ringkasan Sejarah Filsafat,
Kanisius, Yogyakarta
_________, 2005. Panorama filsafat modern,DARAS,
Jakarta
Brian Duignan, 2011 The History Of Philosophy
Modern Philosophy From 1500 Ce To The Present
Budiaman, Arif. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta:Gavindo.
Brower, MAW. 1984. Psikologi
Fenomenologi. Jakarta. Penerbit Gramedia.
____________,1986.
Sejarah Filsafat Modern dan Sejaman. Bandung. Penerbit Alumni.
Hardiman F.Budi, 2004. Filsafat modern, gramedia, Jakarta
Ken Wilber, 1998. The Marriage Of Sence And Soul
Integrating Science And Religion. Random House. New York
Kattsoff, Louis O. 1989.
Pengantar Filsafat. Yogyakarta. Penerbit Bayu Indera.
Poedjiadi, Anna. 1987.
Sejarah dan Filsafat Sains. Bandung. Penerbit Cendrawasih.
Poedjawijatma. 1980.
Pembimbing Ke arab Alam Filsafat. Jakarta. Pembangunan Pranarya, AMW. 1987.
Epistemologi Dasar : Suatu Pengantar. Jakarta. CSIS.
Pradja,
Juhaya S. 1987. Aliran-aliran Filsafat Dari Rasionalisme Hingga Sekularisme.
Bandung. Alva Gracia.
Syadali Ahmad,dkk, 2004. Filsafat Umum, Pustaka setia,
Bandung
Slamet Iman Santoso R.1977.
Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta.
Sinar Hudaya.
Wilbur Applebaum, 2005. The Scientific Revolution
and the Foundations of Modern Science. Greenwood Guides to Historic Events, 1500–1900. Greenwood Press. London
Allah
berfirman dalam Al Qur’an Surat 2 :282 dan 283
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
#sÎ)
LäêZt#ys?
AûøïyÎ/
#n<Î)
9@y_r&
wK|¡B
çnqç7çFò2$$sù
4
=çGõ3uø9ur
öNä3uZ÷/
7=Ï?$2
ÉAôyèø9$$Î/
4
wur
z>ù't
ë=Ï?%x.
br&
|=çFõ3t
$yJ2
çmyJ¯=tã
ª!$#
4
ó=çGò6uù=sù
È@Î=ôJãø9ur
Ï%©!$#
Ïmøn=tã
,ysø9$#
È,Guø9ur
©!$#
¼çm/u
wur
ó§yö7t
çm÷ZÏB
$\«øx©
4
bÎ*sù
tb%x.
Ï%©!$#
Ïmøn=tã
,ysø9$#
$·gÏÿy
÷rr&
$¸ÿÏè|Ê
÷rr&
w
ßìÏÜtGó¡o
br&
¨@ÏJã
uqèd
ö@Î=ôJãù=sù
¼çmÏ9ur
ÉAôyèø9$$Î/
4
(#rßÎhô±tFó$#ur
ÈûøïyÍky
`ÏB
öNà6Ï9%y`Íh
(
bÎ*sù
öN©9
$tRqä3t
Èû÷ün=ã_u
×@ã_tsù
Èb$s?r&zöD$#ur
`£JÏB
tböq|Êös?
z`ÏB
Ïä!#ypk¶9$#
br&
¨@ÅÒs?
$yJßg1y÷nÎ)
tÅe2xçFsù
$yJßg1y÷nÎ)
3t÷zW{$#
4
wur
z>ù't
âä!#ypk¶9$#
#sÎ)
$tB
(#qããß
4
wur
(#þqßJt«ó¡s?
br&
çnqç7çFõ3s?
#·Éó|¹
÷rr&
#·Î72
#n<Î)
¾Ï&Î#y_r&
4
öNä3Ï9ºs
äÝ|¡ø%r&
yZÏã
«!$#
ãPuqø%r&ur
Íoy»pk¤¶=Ï9
#oT÷r&ur
wr&
(#þqç/$s?ös?
(
HwÎ)
br&
cqä3s?
¸ot»yfÏ?
ZouÅÑ%tn
$ygtRrãÏè?
öNà6oY÷t/
}§øn=sù
ö/ä3øn=tæ
îy$uZã_
wr&
$ydqç7çFõ3s?
3
(#ÿrßÎgô©r&ur
#sÎ)
óOçF÷èt$t6s?
4
wur
§!$Òã
Ò=Ï?%x.
wur
ÓÎgx©
4
bÎ)ur
(#qè=yèøÿs?
¼çm¯RÎ*sù
8-qÝ¡èù
öNà6Î/
3
(#qà)¨?$#ur
©!$#
(
ãNà6ßJÏk=yèãur
ª!$#
3
ª!$#ur
Èe@à6Î/
>äóÓx«
ÒOÎ=tæ
ÇËÑËÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
[179]
Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan
sebagainya.
*
bÎ)ur
óOçFZä.
4n?tã
9xÿy
öNs9ur
(#rßÉfs?
$Y6Ï?%x.
Ö`»ydÌsù
×p|Êqç7ø)¨B
(
÷bÎ*sù
z`ÏBr&
Nä3àÒ÷èt/
$VÒ÷èt/
Ïjxsãù=sù
Ï%©!$#
z`ÏJè?øt$#
¼çmtFuZ»tBr&
È,Guø9ur
©!$#
¼çm/u
3
wur
(#qßJçGõ3s?
noy»yg¤±9$#
4
`tBur
$ygôJçGò6t
ÿ¼çm¯RÎ*sù
ÖNÏO#uä
¼çmç6ù=s%
3
ª!$#ur
$yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
ÒOÎ=tæ
ÇËÑÌÈ
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang).
akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan
persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[180] Barang
tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
Fase Masa lalu
Dengan demikian jelas
bahwa Pada awalnya manusia tidak mengetahui apa itu akuntansi.
Manusia hanya memiliki pengetahuan tentang cara melakukan perhitungan
berdasarkan ilmu matematika yaitu ilmu yang paling tua di dunia ini. Ilmu ini
dipergunakan oleh manusia untuk melakukan perdagangan terutama ketika
perdagangan telah berkembang dengan menggunakan alat tukar berupa uang bukan
barter. Perkembangan perdagangan yang semakin meningkat membuat manusia di
dunia membutuhkan pencatatan pembelian dan penjualan barang dagangan serta
ongkos-ongkos yang terkait dengan perdagangan itu, sehingga muncullah sebuah
fenomena pencatatan dalam aktivitas perdagangan.
Aktivitas
pencatatan dalam perdagangan terus mengalami perkembangan, terutama ketika
menjangkau wilayah geografis yang lebih luas, sehingga ragam barang yang
diperdagangkan juga semakin banyak. Demikian pula, ketika ragam geografis asal
barang juga mempengaruhi harga barang karena keunikan rasa dan citranya serta
biaya transportasi yang berbeda. Dalam hal ini aktivitas pencatatan berkembang
menjadi aktivitas peringkasan barang dagangan menjadi barang dagangan yang
diperoleh dari negara dan diluar negara. Bersamaan dengan itu juga dilakukan
aktivitas penggolongan masing-masing jenis barang dan daerah asalnya dan biaya
untuk mendapatkan barang itu. Aktivitas peringkasan dan penggolongan ini
memungkinkan seorang pedagang menentukan harga jual secara tepat dalam rangka
memperoleh keuntungan penjualan barang dagangannya.
Fase Masa Kini
Kemudian pada perkembangan selanjutnya, aktivitas
perdagangan terus mengalami kemajuan yang signifikan sehingga para pedagang
yang semula ikut serta secara langsung dalam kegiatan memperoleh dan menjual
barang dagangannya berkembang pada suatu fase dimana dia hanya melakukan
pengawasan terhadap kegiatan dagangnya dengan mempercayakan aktivitas
operasional kepada beberapa orang tertentu. Hal ini menyebabkan terjadinya
aktivitas pelaporan berdasarkan ketentuan dan standar pencatatan, peringkasan
dan penggolongan yang sesuai dengan keinginan pemilik aktivitas perdagangan itu
sebagai pemilik modal untuk memperoleh barang yang akan diperdagangkan.
Uraian
di atas menimbulkan apa yang kita kenal dengan aktivitas pembukuan dimana
pencatatan, peringkasan, penggolongan dan pelaporan dilakukan sesuai dengan
aktivitas rutin perdagangan. Pembukuan ini dirasa kurang mampu menampung
seluruh transaksi perdagangan yang dilakukan terutama ketika muncul transaksi
pembayaran dan perolehan barang di kemudian hari (hutang-piutang) yang menjadi
sangat rumit ketika hanya dicatat dalam pembukuan sederhana. Hal ini
menyebabkan munculnya akuntansi sebagai metode pencatatan, peringkasan,
penggolongan dan pelaporan aktivitas bisnis sesuai dengan peruntukkan sehingga
pemilik usaha dapat memonitor dan mengendalikan bisnisnya melalui pelaporan
keuangan yang disajikan oleh orang yang dipercayainya menjalankan operasi
bisnis tersebut.
Akuntansi
tidak akan muncul ketika aktivitas hidup dan kehidupan manusia tidak
berkembang. Akuntansi tidak akan muncul ketika manusia hanya sekedar
menjalankan aktivitas perdagangan berupa barter saja. Akuntansi tidak akan
muncul ketika revolusi industri dimana manusia mampu mengolah dan menghasilkan
barang baru untuk memenuhi kebutuhannya melalui pengolahan dan produksi barang
dengan bahan baku dari alam tidak ada. Akuntansi tidak akan muncul ketika
aktivitas keinginan manusia tidak berkembang dan hanya cukup dipenuhi oleh
kebutuhan dengan bercocok tanam dan berburu saja. Akuntansi tidak akan muncul
ketika manusia tidak memiliki pengetahuan tentang angka dan ilmu pengetahuan
matematika. Namun perkembangan peradaban manusia yang diciptakannya sendiri
mampu menginisiasi kemunculan akuntansi.
Akuntansi
terus mengalami perkembangan yang pesat sejalan dengan perkembangan dunia
bisnis. Akumulasi berperan dalam perkembangannya sehingga menjadikannya
paradigmatis. Paradigma didefinisikan sebagai (Ritzer, 1975 dalam Ritzer dan
Goodman, 2008:697):
gambaran fundamental dari pokok bahasan dalam ilmu
pengetahuan. Ia menentukan apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus
diajukan, bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan, dan aturan apa
yang harus diikuti dalam menanfsirkan jawaban-jawaban yang diperoleh. Paradigma
adalah unit terluas dari konsensus dalam ilmu pengetahuan dan membedakan satu
komunitas (atau subkomunitas ilmiah) dari yang lain. Ia memasukkan,
mendefinisikan, menghubungkan sejumlah contoh, teori, dan metode serta
instrumen yang ada di dalamnya.
Pada
perkembangannya akuntansi dipandang dari satu sisi yaitu sebagai salah satu
alat untuk membantu suksesnya suatu bisnis. Pada tahap ini perhatian dicurahkan
untuk lebih mendayagunakan alat ini sehingga mampu diterima oleh seluruh
penggunanya (generalisasi). Perhatian juga ditujukan kepada obyektivitas penggunaan
alat itu dalam menyajikan pelaporan keuangan kepada para pemilik bisnis
sehingga tidak terdapat perbedaan pandangan dan opini ketika pemilik yang
berbeda membaca pelaporan keuangan produk akuntansi. Pada tahap ini muncul
metode dan prinsip akuntansi akuntansi. Metode dan prinsip itu dikembangkan
dengan meletakkan akuntansi diluar manusia yang membuat dan menciptakannya
sehingga diperkirakan akan dapat diterima oleh semua orang dengan posisi yang
serupa (independensi). Pada tahap inilah perkembangan akuntansi menuju sebuah
ilmu dipandang dalam tataran mekanistis dan sistematis sekedara angka matematis
saja sehingga harus dilihat pengaruhnya terhadap kinerja bisnis berdasarkan
angka laba/rugi yang dihasilkannya. Ini merupakan pendekatan dari paradigma
positivis.
Veeger
(1986: 233-234) menjelaskan bahwa paradigma positivis memiliki tiga hukum utama
dalam penerapannya yaitu (1) pengetahuan ilmiah harus bersifat obyektif, (2)
ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulangkali terjadi, dan
(3) ilmu pengetahuan positif menyoroti alam dari segi ketergantungannya dan
antarhubungan unsur-unsurnya. Obyektifitas akan tercapai jika ilmuwan mampu
memisahkan dirinya dari faktor-faktor dari dia sendiri ketika mengamati suatu
obyek sehingga terbebas dari perasaan, kepercayaan, nilai-nilai etis yang
membuat dia memuji atau mencela obyek yang diamatinya. Dalam obyektifitas ini
terkandung syarat intersubyektivitas dimana ilmu pengetahuan harus bersifat
umum sehingga proposisinya dapat diuji dan dibuktikan dengan menggunakan
observasi oleh lebih dari satu orang.
Positivis
juga mensyaratkan adanya pengulangan dalam ilmu pengetahuan. Pengulangan ini
dipergunakannya untuk meningkatkan kemampuan prediksi. Oleh karena itu perlu
dibuatkan pengkondisian tertentu, sehingga reaksi serupa berdasarkan metode
ilmiah tertentu dapat diramalkan di masa mendatang. Peramalan itu akan lebih
dipermudah ketiga ilmuwan positif melihat obyek berdasarkan unsur-unsurnya
sebagai suatu sistem, bukan secara terpisah-pisah. Hal ini mengarahkan pada
perhatian terhadap relasi-relasi eksternal obyek yang diteliti, terutama relasi
kausal, bukan unsur/elemen penyusun obyek itu dimana manusia merupakan salah
satu diantaranya. Inilah yang kemudian yang menegaskan bahwa praktek akuntansi selama
ini kental dengan kapitalisme. Sehingga Sadar atau
tidak bahwa perkembangan Ilmu pengetahuan dan kapitalisme selalu berinteraksi
secara aktif melalui gerak dialektika yang tidak dapat dihindarkan. Gerakan ini
memunculkan perkembangan teori ilmu pengetahuan seperti Positive Accounting
Theory (PAT) yang sejalan dengan kapitalisme itu sendiri.
Kapitalisme secara pasti telah melahirkan teknologi yang membawa perubahan
radikal dalam dunia modern. Sehingga akhimya Ilmu pengetahuan, teknologi dan
kapitalisme menjadi tiga pilar yang saling membagi berperan dalam membentuk
jaringan rasionalitas instrumental, rasionalitas efisiensi, birokrasi dan
kalkulasi cost/benefit untuk memerdekakan dan mencerahkan manusia sesuai dengan
cita-cita pencerahannya. Seiring dengan sejarah kelahiran teorinya,
akuntansi merupakan salah satu ilmu sosial dimana ilmu pengetahuan dan
prakteknya sama sekali tidak dapat dipisahkan dari kapitalisme. Ini sejalan
dengan asumsi pokok Positive Accounting Theory (PAT) itu sendiri yakni:
“All individuals’
action is driven by self-interest and individuals will act in an opportunistic
manner to the extent that the actions will increase their wealth ” Deegan
(2006)
Intinya,
semua tindakan individu dimotivasi atau didorong oleh kepentingan pribadi,
bahkan tindakan oportunis (moral hazard) akan dilakukan, selama tindakan
tersebut mampu meningkatkan kesejahretaannya. Dalam kondisi seperti ini maka
etika dan moralitas individu atau praktisi bukan menjadi hal penting dalam
menjalankan praktek akuntansi. Sehingga pada akhirnya jaringan kerja dan
relasi-relasi yang dibentuk kapitalisme telah mengubah perilaku dalam praktek
akuntansi serta turut dalam mewamai praktek akuntansi yang disebut-sebut
sebagai instrumen penting dalam dunia bisnis (the language of business).
Sejalan dengan itu, Triker (1978 ; 8) melihat akuntansi sebagai anak dari
budaya di mana akuntansi itu berada, atau dengan kata lain akuntansi sebagai
suatu ilmu pengetahuan maupun prakteknya dibentuk melalui interaksi sosial yang
sangat kompleks, jika lingkungan yang membentuk akuntansi tersebut adalah
lingkungan kapitalisme, maka perkembangan akuntansi sebagai ilmu pengetahuan
dan prakteknya akan bernafaskan kapitalisme juga. Beberapa bukti dalam
dasawarsa terakhir telah menunjukkan bahwa praktek akuntansi selama ini kental
dengan kapitalisme, bakhan, akuntansi dalam lingkungan idiologi kapitalisme
menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau harus tunduk dalam idiologi
kapitalisme.
Premis tersesut bukan
hanya sekedar isapan jempol semata, tetapi mari kita lihat kasus demi kasus
yang mewarnai pasang surutnya praktek akuntansi merebak dimana-mana.
Misalnya di US kasus KPMG, Arthur Andersen, Ernst & Young,
Deloitte & Touche, Pricewater House Coper serta Friehling & Horowitz
dalam kasus Computer Associatec, Lemout dan Hauspie,Enron, World Com, Xerox,
One Tel, AOL, Bristol-Myers Squibb, Merrill Lynch, Tyco International, AIG. Di
Eropa seperti sekandal akuntansi BCC1, Maxwell, Polly Peck (UK) serta di
Australia terjadi pada perusahaan HIH Insurance. Selain itu di negara-negara
berkembang seperti skandal PT Bank Bali, Bank Lippo, Asian Agri and Sinar Mas
Group (Indonesia), Bangkok Bank of Commerce (Thailand), United Engineers Bhd
(Malaysia), Samsung Electronics and Hyundai (Korea) (John, Boone, Breach dan
Friedman, 2000).
Dari argumentasi diatas jelas bahwa dalam lingkungan
idiologi kapitalisme, etika dan moralitas individu atau
praktisi bukan menjadi hal penting dalam menjalankan praktek akuntansi serta akuntansi menjadi
tidak berdaya dan mau tidak mau harus tunduk dalam idiologi kapitalisme benar adanya. Namun demikian,
meskipun akuntansi dibentuk oleh lingkungannya, akuntansi dapat pula berbalik
mempengaruhi/membentuk lingkungannya, sebagaimana dipertegas oleh Mathews
dan Parera (1993; 15) dengan mengatakan:
Although the conventional views is that accounting is
socially constructed as a result of social, economic and political events,
there are alternative approaches which suggest that accounting may he socially
constructing.
Kaitannya dengan pernyataan tersebut dapat di pandang
bahwa akuntansi
diibaratkan sebagai pedang bermata dua, di satu sisi akuntansi dibentuk oleh
lingkungannya (socially constructed) dan disisi lainnya akuntansi membentuk lingkungannya (socially
constructing). Hal ini sekaligus memastikan bahwa akuntansi bukanlah suatu
bentuk ilmu pengetahuan dan praktek yang bebas dari nilai (value free), tetapi sebaliknya
akuntansi adalah disiplin ilmu pengetahuan dan prakteknya sarat dan kental
dengan nilai. Namun, karena
akuntansi dalam praktek bisnis modern sangat identik dengan
angka-angka maka
akuntansi dilabeli sebagai ilmu pengetahuan bebas nilai (value free).
Hal ini yang kemudian menstikma
bahwa tanpa
angka adalah sesuatu hal yang sangat mustahil bagi akuntansi dan implikasinya adalah
bahwa tanpa angka akuntansi
kita tidak dapat menggambarkan kedaaan entitas bisnis, celakanya lagi argumentasi tersebut di amini oleh banyak kalangan misalnya Hines (1981;61) yang mengemukakan, akan jadi apa
"posisi keuangan " atau "kinerja " atau "ukuran "
sebuah perusahaan tanpa akuntansi keuangan ?
tanpa konsep "aktiva", kewajihan, "modal”, dan "laba" (yang semuanya
diterjemahkan dalam bentuk
angka). Dalam perkembangannya kemudian,Teori
Akuntansi Positif (PAT) merupakan teori yang hadir untuk melengkapi Teori
Akuntansi Normatif. Oleh karena Teori
Akuntansi Normatif hanya berpikir apa yang seharusnya
dilakukan dalam praktek akuntansi, maka menurut Scott (2000) bahwa Teori akuntansi
positif berusaha untuk membuat prediksi yang baik sesuai dengan kejadian yang
nyata. Artinya teori akuntansi positif berusaha menjawab
pertanyaan timbul dari
fenomena :
1.
Apakah biaya yang dikeluarkan
sebanding dengan manfaat yang diperoleh dalam pemilihan metode akuntansi
alternatif ?
2.
Apakah biaya yang diperoleh
sebanding dengan manfaat yang diperoleh dalam regulasi dan proses penentuan
standar akuntansi ?
3.
Apa dampak laporan keuangan
yang dipublikasikan pada harga saham ?
Berdasarkan pandangan inilah Teori
akuntansi positif mempunyai kepercayaan bahwa realita sosial berada secara
independen dari manusia yang memiliki sifat atau esensi tersendiri. Hal ini
mengakibatkan fenomena empiris terpisah dari penelitian. Dengan demikian
validitas ilmiah dari dunia empiris diuji melalui observasi. Selanjutnya untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan diatas dalam teori akuntansi positif dapat dikelompokkan menjadi dua tahap, yakni :
Pertama, penelitian
akuntansi dan perilaku pasar modal. Dalam tahap ini tidak dijelaskan tentang
praktek akuntansi, tetapi dilakukan penelitian terhadap hubungan pengumuman
laba dengan reaksi harga saham. Untuk melakukan penelitian dalam tahap ini
digunakan Hipotesis Pasar Efisien (Efficiency
Market Hyphothesis) (Scott,2000). Pasar modal
efisien adalah pasar modal dimana harga surat-surat berharga yang diperdagangkn
setiap waktu secara wajar dan merefleksikan semua informasi yang diketahui
publik berkaitan dengan surat berharga dan Capital
Asset Pricing Model (CAPM).
Kedua, penelitian dalam tahap kedua dilakukan untuk
menjelaskan dan memprediksi praktek akuntansi antar perusahaan yang difokuskan
pada alasan oportunistik dalam hal perusahaan memilih metode akuntansi
tertentu, atau pada alasan efisiensi yaitu metode akuntansi dipilih untuk
mengurangi biaya kontrak antara perusahaan dengan stakeholder-nya.
Alasan pertama yaitu perspektif oportunistik disebut ex-post
yaitu pemilihan metode akuntansi dilakukan sesudah diketahui faktanya. Alasan
kedua yaitu perpektif efisiensi disebut ex ante
karena
pemilihan metode akuntansi dilakukan sebelumjgktanya diketahui. Penelitian
dibidang ini menggunakan agency
theory yang membahas tentang paradigma pengendalian (control). Sebagaimana tiga Hipotesis dalam teori
akuntansi positif yang dirumuskan oleh Watt & Zimmerman (1986) dalam bentuk
"oportunistik"
yakni :
1. Hipotesis
program bonus (Plan
Bonus Hypothesis),
dalam ceteris paribus para manajer
perusahaan dengan rencana bonus akan lebih memungkinkan untuk memilih prosedur
akuntansi yang dapat menggantikan laporan earning untuk periode
mendatang ke periode sekarang atau dikenal dengan income
smoothing.
Dengan
hipotesis tersebut apabila manajer dalam sistem penggajiannya sangat tergantung
pada bonus akan cenderung untuk memilih metode akuntansi yang dapat memaksimalkan
gajinya, misalnya dengan metode acrual.
2. Hipotesis
perjanjian hutang (Debt Convenat
Hypothesis),
dalam ceteris paribus manajer
perusahaan yang mempunyai ratio leverage (debt/equity) yang besar
akan lebih suka memilih prosedur akuntansi yang dapat menggantikan laporan earning
untuk
periode mendatang ke periode sekarang.
Dengan
memilih metode akuntansi yang dapat memindahkan pengakuan laba untuk periode
mendatang ke periode sekarang maka perusahaan akan mempunyai leverage
ratio
yang kecil, sehingga menurunkan kemungkinan default
technic.
Seperti diketahui bahwa banyak perjanjian hutang mensyaratkn peminjamjjntuk
mematuhi atau mempertahankan rasio hutang atas modal, modal kerja, ekuitas
pemegang saham dll.selama masa perjanjian, jika perjanjian tersebut dilanggar
perjanjian hutang mungkin memberikan penalti, seperti kendala dalam deviden
atau pinjaman tambahan.
3. Hipotesis
biaya politik (Political Hypothesis), dalam ceteris
paribus semakin
besar biaya politik perusahaan, semakin mungkin manajer perusahaan untuk
memilih prosedur akuntansi yang menangguhkan laporan earning periode
sekarang ke periode mendatang
Hipotesis
ini berdasarkan asumsi bahwa perusahaan yang biaya politiknya besar lebih
sensitif dalam hubungannya untuk mentransfer kemakmuran yang mungkin lebih
besar dibandingkan dengan perusahaan yang biaya politiknya kecil dengan kata
lain perusahaan besar cenderung lebih suka menurunkan atau mengurangi laba yang
dilaporkan dibandingkan perusahaan kecil.
Fase Masa
Datang
Pemisahan peneliti dengan obyek yang
diteliti dan pandangan generalisasi serta ketiadaan unsur parsial seperti
manusia didalamnya menjadi kritik bagi paradigma positivis. Oleh karena itu
muncullah paradigma interpretif. Paradigma interpretif atau post-positivistik
menurut Muhadjir (1998) memiliki kebenaran yang didasarkan pada esensi (sesuai
dengan hakekat obyek) dan kebenarannya bersifat holistik. Data tidak hanya
terbatas pada sesuatu yang empiri sensual, tetapi juga mencakup apa yang ada di
balik empiri sensual (fenomena dan nomena). Dalam hal ini pelibatan peran
manusia sebagai penyusun dan pelaksana suatu aktivitas yang diteliti dilibatkan
sebagai obyek sekaligus subyek penelitian sehingga fenomena mampu dianalisis
secara utuh dan tidak terpisah-pisah serta mencari hubungan kausal timbal balik
bukan searah.
Pada tahap berikutnya akuntansi
dipandang mengandung muatan nilai-nilai tertentu dimana nilai-nilai tersebut
bersifat bebas. Oleh karena itu akuntansi dapat dipandang dari paradigma
kritis. Paradigma Kritis (Griffiths 1998 dalam Satria, diakses 30 Nopember
2011) dalam memandang suatu realitas penuh dengan muatan ideologi tertentu,
seperti Neo-Marxisme, Materialisme, Feminisme dan paham lainnya yang percaya
bahwa; kondisi manusia dibentuk oleh kondisi sosialnya saat itu, dengan kata
lain, human nature bukanlah sesuatu
yang fixed; individu bisa
dikelompokkan menjadi kelompok identitas yang memiliki kepentingan yang sama;
tidak ada ‘fakta’ dalam dunia ini, yang membentuk persepsi seseorang adalah
nilai yang dimilikinya; walaupun memiliki perbedaan ras, etnis, gender, dan
kelas sosial, pada dasarnya manusia memiliki satu tujuan hidup yang sama yaitu
meraih kebebasan. Robert Cox, salah seorang pemikir yang menganut paradigma ini
menjelaskan bahwa teori kritis memandang dunia seperti apa adanya, dimana
institusi dan hubungan sosial politik dianggap sebagai kerangka tindakan yang given.
Pada perkembangan berikutnya sebagai
pengetahuan paradigmatis, akuntansi juga dipandang dari paradigma posmodernis.
Pada dasarnya, Postmodernisme (Lyotard 1984 dalam Satria, diakses 30 Nopember
2011) dapat didefinisikan sebagai sebuah pemikiran yang menolak segala bentuk
universalitas dan klaim-klaim kaum rasionalis mengenai kebenaran ilmiah dengan
menggunakan teknik dekonstruksi dan geneologi. Penganut Postmodernisme
cenderung melakukan resistensi terhadap narasi-narasi besar yang mereka percaya
“ditanamkan” oleh pihak-pihak tertentu. Mereka, dengan demikian, cenderung
menghargai kekayaan dan kearifan lokal yang telah ada.
Riset demi riset dilakukan dibidang penelitian
akuntansi dan perilaku pasar modal dan prilaku oportunistik dalam kaitanya agency theory. Seiring dengan perkembangan Teori
akuntansi positif tidak
terlepas dari kritik pedas oleh berbagai kalangan baik “positive” maupun
“negative” seperti
dilakukan Ball dan Foster (1982), Tinker et.al. (1982), Christenson (1983), Holthausen & Leftwich (1983), Lowe et.al (1983), Mc Kee et.al (1984), Whittington (1987), Hines
(1988), Sterling (1990), Boland dan Gordon (1992), Gaffikin
(2005). Kritik “positif” terhadap Positive Accounting Theory namun
sayangnya kritik-kritik tersebut hanya berkutat pada tataran metodologis dan untuk kepentingan pragmatism
utility of accounting research semata. Sedangkan kritik “negatif” yang sebenarnya lebih fundamental, pada
dataran filosofis (value laden) dan asumsi dasar teoritis (utility
maximization), ternyata tidak (atau belum?) dipahami sebagai bentuk
relationship of scientific accounting development. Tetapi selalu dipahami
sebagai contradiction of scientific accounting development (Aji Dedi Mulawarman : 2007).
Berdasarkan argumentasi-argumentasi kritik yang
disampaikan oleh para pneliti tersebut, perlu di tegaskan bahwa dimana
keberadaan akuntansi sebuah ilmu pengetahuan, apakah akuntansi merupakan ilmu
pengetahuan yang bebas nilai (value free) atau akuntansi merupakan ilmu
pengetahuan yang tidak bebas nilai (value laden). Disinilah sangat jelas
bahwa peran dan bagaimana paradigma berkerja.
Referensi :
Aji
Dedi Mulawarman (2007) Positive Accounting Theory: Apakah Perlu Dikritik? http://ajidedim.wordpress.com/2007/12/26/positive-accounting-theory-pakah-perlu-dikritik/ di download pada tanggal 7/04/2012
Boland Lawrence
A, Irene M. Gordon. 1992. Criticizing Positive Accounting Theory. Contemporary
Accounting Research. 9(1). pp. 142-170
Christenson,
Charles. 1983. The Methodology of Positive Accounting. The Accounting Review.
LVIII (1) pp 1-22.
Deegan, C. 2006. Financial Accounting Theory. 2 Edition. Mcgraw-Hill
Australia Pty Ltd.
Gaffikin, 2005.
Positive Accounting: Where About?. Notes for an Introduction to Theoritical
Foundations of Research. The First Postgraduate Consortium on Accounting.
Brawijaya University. March, 1, 2005.
Lawrence
Boland,1992, Critizing Positive Accounting Theory, Journal
of Accounting Research, Vol.9, no. l(fall), hal. 142-170
http://id.wikipedia.org/wiki/Paradigma di download pada tanggal 7/04/2012
Noeng, Muhadjir. Metode
Penelitian Sosial. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan, 1998.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2009, Teori Sosiologi, dari Teori Sosiologi Klasik
sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Satria, Novandre, www.sribd.com/search_paradigma/pengertian_ paradigma.html. diakses tanggal 30 Nopermber 2011
Scott,2000,Financial Accounting Theory, Prentice hall
Inc.
Tinker, Anthony
M., Barbara D. Merino, Marilyn Dale Neimark. 1982. The Normative Origins of
Positive Theories: Ideology and Accounting Thought. In Accounting Theory: A
Contemporary Review. Jones, Stewart., C. Romano, J. Ratnatunga (ed.). 1995.
Harcourt Brace. Australia.
Veeger, K.J., 1986, Realitas
Sosial, Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam
Cakrawala Sejarah Sosiologi, PT. Gramedia, Jakarta.
Watts and
Zimmerman, 1986,Positive
Accounting Theory,
Prentice Hall.
___________________,1990,
Positive Accounting Theory : Ten Year Perspective, Accounting Review, Vol. 65,January
Whitington.
1987. Positive Accounting: A Review Article. Accounting and Business Research.
17(68). pp 327-336.
Langganan:
Postingan (Atom)